Sabtu, 19 November 2011

Wakil Rakyat dan Elemen Masyarakat Dukung Sikap Tegas Bupati Inhu

RENGAT, TRIBUN - Sikap tegas Bupati Indragiri Hulu (Inhu) Yopi Arianto terhadap karyawan PT Palma Satu mendapat dukungan dari kalangan wakil rakyat dan sejumlah elemen masyarakat Inhu. Rabu (16/11) nanti akan digelar aksi massa besar-besaran memprotes sikap arogan perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.

"Kami mendukung sikap tegas Bupati yang membela kepentingan masyarakat. Jika Bupati saja tidak dihargai oleh perusahaan, apalagi masyarakat. Sementara mereka mengeruk kekayaan dari Inhu. Ini sudah menginjak-injak harga diri kita," kata anggota DPRD Inhu, Syamsudin, di Rengat, Minggu (13/11).

Pertengahan pekan lalu sengketa kepemilikan lahan antara pihak perusahaan dengan masyarakat di Desa Penyaguan Kecamatan Batang Gangsal, Inhu kembali memanas. Kedua pihak berhadap- hadapan, Rabu (9/11), saat karyawan perusahaan menghentikan alat berat yang disewa masyarakat untuk penggalian parit.

Lima Alat Berat Perusahaan Dibakar Massa di Rupat

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Humas PT Sumatera Riang Lestari (SRL), Aprizal Ponggok, Jumat (18/11/2011) pagi, mengungkapkan lima alat berat mereka di Rupat, dibakar massa. Ia juga mengungkapkan, satu alat berat mereka diceburkan ke kanal.

Direktur Esksekutif Walhi Riau, Hariansyah Usman, memaknai peristiwa aksi anarkis massa warga Pulau Padang, merupakan bentuk kegagalan pemerintah Riau memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat Rupat.

"Ini artinya, eksekutif maupun legislatif telah gagal memenuhi keinginan warga Rupat. Warga jangan disalahkan karena telah bertindak sendiri. Karena memang mereka tidak ada harapan lagi kepada eksekutif dan legislatif," kata Hariansyah Usman. (*)

Sumber : http://pekanbaru.tribunnews.com/2011/11/18/lima-alat-berat-perusahaan-dibakar-massa-di-rupat

Selasa, 15 November 2011

DPRD Riau Dukung Pencabutan Izin HTI di Pulau Padang

PEKANBARU--MICOM: DPRD Riau mendukung tuntutan warga Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau untuk meninjau ulang dan mencabut izin Hutan Tanaman Industri (HTI) di pulau yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka itu.

Aktivitas eksploitasi hutan alam di Pulau Padang dinilai sudah mengancam kedaulatan Indonesia karena abrasi dan tenggelamnya daratan di kawasan pesisir timur tersebut.

"Kami mendukung aspirasi dari masyarakat Pulau Padang untuk meninjau ulang izin HTI di daerah itu," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Riau Rita Zahara kepada Media Indonesia seusai menemui perwakilan warga Pulau Padang yang melakukan aksi jahit mulut di depan Kantor DPRD Riau, Rabu (2/11).

Perjuangan warga Pulau Padang sudah berlangsung sejak tiga tahun silam. Warga menuntut pencabutan izin HTI PT Sumatra Riang Lestari (SRL) yang mendapatkan hak konsesi seluas 41.205 hektar (ha) di daerah pesisir timur Sumatra itu.

Pasalnya, sejak perusahaan beroperasi menebang ratusan hektar hutan alam, daerah Pulau Padang mulai dilanda abrasi dan banjir.

Perwakilan warga Pulau Padang yang tergabung dalam Serikat Tani Riau (STR) Antony Fitra menegaskan posisi perusahaan HTI di Pulau Padang sudah mendapatkan peringatan keras dari Komisi Nasional (Komnas) Hak Azazi Manusia (HAM).

Izin HTI di Pulau Padang dikeluarkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) No.327 tahun 2009. Izin itu diduga bermasalah karena keluar pada saat jabatan Menhut MS Kaban akan segera habis yakni sekitar April 2009. (OL-11.

Senin, 14 November 2011

DPRD Propinsi di Serang Ratusan Demonstran, 100 Relawan Ancam Jahit Mulut

Pekanbaru,SR - Ratusan Masyarakat Pulau Padang dan aktivis lingkungan melakukan aksi demo di depan gedung DPRD Propinsi Riau. Sedangkan di dalam gedung sendiri sedang belangsung pertemuan antara masyarkat Pulau Padang bersama Anggota DPD-RI, Anggota Komisi A Propinsi Riau, Bupati Kepulauan Meranti bersama Kadishut beserta jajaran, Kadishut Propinsi Riau dan perwakilan dari PT RAPP yakni Direktur M.Nauli beserta jajarannya. Pertemuan ini membahas mengenai sengketa lahan antara masrakat Pulau Padang dengan Perusahaan HTI PT RAPP.

Hariansyah Usman ketua Walhi Riau saat di temui Suarariau di gedung DPRD Propinsi Senin 14/11 mengatakan. Ratusan masyarakat Pulau Padang dan aktivis Lingkungan melakukan aksi menuntut PT RAPP di tutup operasi di Riau, selain permasalahan kerusakan lingkungan, PT RAPP juga telah merampah lahan masyarakat tempatan sehingga menimbulkan penderitaan dan kerugian di masyarakat dan semua itu terjadi disemua daerah yang masuk dalam konsesi RAPP salah satunya Pulau Padang."kita menghimbau kepada pemerintah Propinsi Riau untuk mencabut izin SK.327 PT. RAPP karena prosesnya sejak awal tidak pernah melibatkan masyarakat Pulau Padang"Ujar

Hariansyah yang akrab di panggil Kaka ini menambahkan sebenarnya kerusakan lingkungan dan sengketa lahan bukan saja terjadi  di pulau padan, namun hampir semua konsesi RAPP terjadi permasalahan. untuk itu kami menghimbau kepada pemerintah Propinsi riau PT. "RAPP telah menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan dan sengketa lahan yang berkepanjangan mengakibatkan penderitaan di masyarakat dan akhirnya  merugikan masyarakat serta akan menghabiskan anggaran keuangan pemerintah dalam menanggulangi bencana tersebut"Ungkapnya.

kaka mengncam, jika hari ini tidak ada titik terang mengenai permasalahan ini, maka 100 relawan akan kembali melakukan aksi jahit mulut dan menginap di depan DPRD Propinsi.(SR1).

Minggu, 13 November 2011

Aktivitas RAPP Jadi Ancaman Di Pulau Terluar

Pekanbaru. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) anak perusahaan Asia Pacific Resources International Holdings, Ltd (APRIL), tak hanya membikin kebun Hutan Tanaman Industri (HTI) di daratan Sumatera. Tapi sudah pula merambah hingga ke pulau-pulau terluar Indonesia yang ada di Riau.


RAPP sendiri mengusahai lahan yang ada di Pulau Padang Kabupaten kepulauan Meranti. Sementara Sumatera Riang Lestari (SRL), anak perusahaan RAPP, mengusahai lahan yang ada di Pulau Rangsang (masih wilayah Kabupaten kepulauan Meranti) dan Pulau Rupat di Kabupaten Bengkalis.

Perlakuan RAPP di kawasan pulau-pulau itu kata Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) wilayah Riau, sama saja dengan di Pulau Sumatera. Hutan alam yang ada di lahan gambut, dibabat habis. "Ini menjadi ancaman yang sangat buruk terhadap lingkungan," kata Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif Walhi Riau kepada katakabar.com tadi siang.

Walhi mengklaim, RAPP tak layak beroperasi di pulau itu. "Kegiatan RAPP di pulau-pulau itu musti dihentikan. Kalau dilanjutkan, bencana ekologis akan datang. Dan yang menanggung ini tentu pemerintah. Untung yang didapat pemerintah akan habis untuk menanggulangi bencana ekologis ini. Itupun kalau cukup," katanya.

Mestinya kata Hariyansah, RAPP akan lebih baik mengefektifkan lahan yang sudah ada di daratan Sumatera. "Jangan diperluas lagi. Teknologi apapun yang dipakai di pulau itu, nggak akan bisa menghindari bencana yang bakal datang," katanya.*

Keselamatan Pulau Rangsang Terancam

Pekanbaru. Tahun ini, Walhi Riau pernah melakukan ujicoba kedalaman gambut di lahan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) anak perusahaan Asia Pacific Resources International Holdings, Ltd (APRIL) yang ada di Pulau Padang. "Kedalaman gambut di sana antara 6-12 meter," kata Direktur Eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman kepada katakabar.com melalui sambungan telepon tadi siang.
Itulah makanya kata Hariansyah, pihaknya mengklaim bahwa RAPP tidak layak beroperasi di pulau itu. "Gambut di pulau itu merupakan gambut yang dlindungi. Jika gambut terbuka lantaran hutannya ditebang, maka bencana akan segera muncul," katanya.
Perlakuan anak perusahaan RAPP, Sumatera Riang Lestari (SRL) yang ada di Pulau Rangsang, lain lagi. Di pulau itu, SRL membikin kebun Hutan Tanaman Industri (HTI) kurang dari 1 kilometer dari bibir pantai. "Posisi ujung kanal kurang dari 1 kilometer. Jika ini dibiarkan, wah akan berdampak buruk," kata Hariansyah.
Dampak buruk yang akan terjadi itu lanjutnya adalah lantaran di kawasan ini, tingkat abrasi cukup tinggi. "Abrasi oleh air laut di pulau itu mencapai 10-20 meter per tahun. Nah, hitung saja, berapa tahun lagi air laut akan sampai ke kanal itu," katanya.*

Kamis, 04 Agustus 2011

Ekspor Pasir dari Rupat Dipastikan Ilegal

Distamben Riau mengaku belum tahu ada penambangan pasir di Pulau Rupat untuk dijual ke Singapura. Jika benar, maka dipastikan kegiatan tersebut ilegal.

Riauterkini-PEKANBARU-Dinas Pertambangan Riau menyatakan illegal terhadap adanya aktivitas penambangan pasir di Rupat yang kemudian diekspor ke Sungapura. Pasalnya, sejak tahun 2000 lalu, Kementrian Perdagangan RI sudah mengeluarkan Surat Keputusan pelarangan ekspor pasir.

Hal itu dikatakan oleh Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Riau, Bambang Irawan kepada Riauterkini Rabu (20/7/11). Menurutnya, dengan pelarangan tersebut, otomatis semua semua perijinan yang ada baik sudah beroperasi maupun yang belum beroperasi tidak berlaku.

"Kita sendiri sejak keluarnya surat keputusan dari kementrian Perdagangan RI tentang pelarangan ekspor pasir, tidak pernah lagi menerbitkan perijinan. Jadi jika memang saat ini ada aktivitas penambangan pasir, itu dipastikan tidak memiliki perijinan," terang Bambang Irawan.

Kata Bambang, dirinya belum mendapatkan laporan adanya aktivitas penambangan pasir di Rupat dan diekspor ke Singapura, karena ada kemungkinan aktivitas pengambilan pasir adalah untuk menimbun lokasi yang bakal dibangun dermaga untuk perusahaan minyak. Namun dia berjanji akan melakukan pengecekan ke lapangan.

Disinggung mengenai ijin bupati, Bambang menyatakan bahwa untuk ekspor, ijin bupati tidak berlaku. Namun kalau hanya pengambilan pasir untuk kebutuhan dalam negeri saja, ijin bupati masih berlaku sejauh tidak melebihi 4 Km dari bibir pantai.***(H-we)



sumber ; http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=38227

Rabu, 20 Juli 2011

Aktivis: APP Tetap Babat Hutan Alam


Asia Pulp and Paper (APP) melancarkan kampanye internasional untuk menunjukkan bahwa perusahaan di bawah grup Sinar Mas ini peduli terhadap lingkungan. Namun menurut Hariyansyah Usman dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, kenyataan di lapangan adalah sebaliknya.
Hariyansyah mengatakan, di Riau perusahaan di bawah APP yang giat mengelolah bahan baku menjadi kertas dan bubur kertas adalah PT IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper). Pemasoknya antara lain adalah PT Arara Abadi sebagai perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri). Selain itu, tambahnya, ada beberapa perusahaan pemasok lain yang juga di bawah IKPP tadi."Saat ini kapasitas pabrik pulp-nya itu sudah mencapai 2 juta ton per tahun," kata Hariyansyah.
Deforestasi
Ditanya mengenai kampanye APP yang ingin tampil sebagai pencinta lingkungan hidup, Hariansyah mengatakan, itu hak mereka dan sah-sah saja. Tapi ia menambahkan, mereka tetap berkontribusi terhadap pembabatan hutan di Riau. "Mereka juga berkontribusi terhadap penghancuran kawasan-kawasan gambut yang ada di Riau."Ini semua, tambah Hariyansyah, menyebabkan pengeringan gambut dan bencana asap, yang belakangan sering melanda kawasan di Sumatra ini.
Hutan alam
Hariyansyah menambahkan pula, penyebab deforestasi ini antara lain karena permintaan terhadap produk kertas melebihi tawaran. "Mereka butuh lebih kurang sembilan juta meter kubik bahan baku"Untuk memenuhi itu, maka mereka tidak bisa hanya mengandalkan HTI saja. Hutan alam pun terpaksa diganggu. "Hampir mencapai lima puluh persen bahan baku kertas itu disuplai dari hutan alam," katanya.Hal ini bertentangan dengan apa yang ditulis di label APP, bahwa mereka seratus persen menggunakan bahan baku HTI.Hutan alam yang dibabat terletak di berbagai daerah atau distrik dan kabupaten. "Ada di Rokan Hilir, Bengkalis, Siak, Pelalawan, Indragiri Hulu dan Kuantan Sengingi.

Walhi Anggap Pusdakarhutla Riau Mandul

PEKANBARU - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Hariansyah Usman menganggap, Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla) Riau mandul, tak bisa melaksanakan peran dan fungsinya. Harusnya, sebagai lembaga yang pengendali, Pusdakarhutla sudah bisa mengantisipasi, sebelum kebakaran itu ada.

Menurut Hariansyah, tidak jalannya peran dan fungsi Pusdakarhutla bisa dibuktikan, dengan selalu terulangnya kasus Karhutla saat musim kemarau datang, setiap tahun.

"Saya menilai, Pusdakrhutla itu mandul. Tak ada peran dan fungsi yang seharusnya diberikan. Kalau memang alasan karena faktor alam, ini tugas sebagai pengendali. Melakukan langkah-langkah antisipasi sebelum terjadinya Karhutla," kata Hariansyah, Kamis (12/5).

Hariansyah berharap, selama ini Pusdakarhutla hanya melaksanakan fungsi yang bersifat tekhnis seperti memantau atau pun memberikan laporan tentang kepada perkembangan tentang Karhutla. Pada hal, lembaga ini didirikan untuk mengantisipasi terjadinya Karhutla.

Dia mencontohkan, saat datangnya musim kemarau yang disertai panas ektrim. Harusnya Pusdakarhutla telah mampu mempridiksi akan adanya Karhutla. Terutama pada kawasan gambut yang sangat mudah terbakar.

"Harusnya Pusdakarhutla bersama lembaga lingkungan lainnya sudah menerjunkan petugas pada titik lahan yang biasa terbakar. Jadi tidak perlu menunggu setelah terjadinya kebarakan itu," terang Hariansyah.

Ada pun paktor yang tidak kalah peting, yakni lemahnya penegakan hukum dalam menangani kasus kebakaran hutan dan lahan. Sehingga kejahatan lingkungan di Riau terus terjadi. 

"Jika kebakaran hutan dan lahan hanya diumumkan pemerintah tanpa disertai tindakan hukum, itu namanya sia-sia. Apalagi hukum bidang lingkungan di Riau telah lama mandul," tegasnya.

Hariansyah mengatakan, sebagian besar kasus-kasus kejahatan di bidang lingkungan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di wilayah hukum Provinsi Riau berakhir dengan tidak ada kejelasan.(Muh)



sumber ; http://www.halloriau.com/read-lingkungan-10588-2011-05-12-walhi-anggap-pusdakarhutla-riau-mandul.html

Jumat, 15 Juli 2011

Arara Abadi Alihkan Sungai dan Babat Green Belt di Pelalawan

Komisi D DPRD Pelalawan menggelar hearing membahas sengketa lahan warga Kesema dengan PT Arara Abadi. Dalam pertemuan tersebut, warga menuding perusahaan mengalihkan sungai dan membabat kawasan greeen balt.

Riauterkini-PANGKALANKERINCI-Manajer PT Arara Abadi akhirnya memenuhi panggilan ketiga Komisi B DPRD Pelalawan guna melakukan acara dengar pendapat dikantor DPRD Pelalawan Senin (11/7/11). Pada pertemuan tersebut terungkap, PT Arara Abadi, menggarap lahan Green belt, juga telah mengalihkan Sungai Medang, di desa Kesuma Kecamatan Pangkalankuras. 

Pernyataan tersebut diungkapkan oleh puluhan perwakilan warga dusun dua Sei Medang desa Kesuma Kecamatan Pangkalankuras, pada pertemuan terbuka diruang lantai III kantor DPRD Pelalawan. Hadir pada pertemuan itu, Ketua DPRD Pelalawan H Zakri, Ketua Komis B Eka Putra dan sejumlah anggota, Herman Maskar, T Khairil, Ali Amran, Sunardi, Assiten I bidang Pemerintah Kabupaten Pelalawan T Muhklis, dan perwakilan manajer PT Arara Abadi. 

Dari pantauan dilapangan, tutur perwakilan masyarakat pada forum itu, menyebutkan, bahwasanya, dengan sengaja membabat habis lahan green belt. Padahal lahan ini sangat dilarang dan sebagai penyangga untuk kehidupan flora dan fauna disekitar kawasan PT Arara Abadi. "Ini tidak bisa dipungkiri, semua lahan yang di alokasikan untuk green belt habis dibabat oleh pihak perusahaan, kemudian kayunya di ambil untuk bahan baku perusahaan itu," tutur warga. 

Lucunya, kata warga, kayu dilahan green belt itu dibiarkan oleh pihak perushaan beberapa tahun, setelah itu, kayu itu dipungut lagi. "Modusnya seperti itu, lahan itu ditumbang terlebih dulu, kemudian beberapa tahun kemudian kayu itu diambil. Kayu-kayu alam itu dari lahan green belt ini, kami menyaksikan secara langsung," papar warga. 

Selain green belt itu, dibabat habis tutur warga, juga pihak perusahaan mengalihkan sungai Medang. Sehingga sungai yang dialih ke hilirnya menjadi dangkal. Padahal kata warga, sungai Medang ini menjadi salah satu mata pencarian masyarakat tempatan. "Pihak perusahaan juga dengan sengaja mengalihkan Sungai Medang, sungai ini yang berada di hilir menjadi dangkal, ikan-ikan sekaran sulit dicari," imbuhnya. 

Dengar pendapat antara Komisi B, PT Arara Abadi dan Warga Kesuma membahas masalah, sengketa lahan 4.300 hektar. Komisi B sepakat akan membentuk tim yang melibatkan beberapa komponen guna menyelesaikan masalah ini.

Menanggapi tudingan teresebut Humas Sinar Mas Forestry, induk perusahaan PT AA Nurul Huda ketika dihubungi riauterkini mengaku belum mendapat informasi. "Nanti saya tanya orang lapangan dulu. Nanti saya kabari," janjinya.

Namun hingga ditunggu beberapa jam, klarifikasi yagn dijanjikan belum kunjung dibeirkan Nurul Huda.***(feb) 



sumber ; http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=38010

Rabu, 13 Juli 2011

Vonis Bebas Ahok Menampar Institusi Hukum

TRIBUNPEKANBARU- Putusan majelis hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memvonis bebas terdakwa kasus ilegal logging, Ahok mendapat kecaman keras dari aktivis lingkungan. Vonis mengejutkan tersebut dinilai sebagai bentuk kelumpuhan aparat hukum dalam mendukung usaha penyelamatan hutan Riau yang sudah porak poranda.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Hariansyah Usman menyatakan, vonis bebas menjadi cerminan kalau institusi hukum tidak memiliki kepekaan dalam masalah lingkungan dan kehutanan khususnya. Padahal, jalur hukum merupakan satu-satunya harapan untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kehutanan.
"Institusi Hukum gagal memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan lingkungan," Kata Hariansyah, Selasa (12/7) siang.
menurutnya, vonis hakim tersebut menciderai rasa keadilan bagi masyarakat. Di tengah euforia dan kampanye penyelamatan hutan digembar-gemborkan pemerintah, justru lembaga hukum tidak memberikan dukungan lewat putusan.
"Itu putusan ironis sekali, hukum yang kita harapkan bisa menjadi garda penghadang kerusakan hutan, ternyata juga bobol. sangat kita sayangkan sekali," kata Hariansyah.

Ia mempertanyakan keseriusan penanganan kasus tersebut mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan perkara hingga vonis dijatuhkan. Menurutnya, jika memang proses hukum yang dilakukan aparat tidak lengkap,timpang dan kabur, maka hakim bisa saja memvonis bebas. "kami pertanyakan bagaimana kasus itu disidik dan di tuntut," tegasnya.
Menurut Hariansyah, kejaksaan harus mengajukan kasasi atas vonis bebas Ahok tersebut. pengajuan memori kasasi harus bisa memberikan keyakinan kepada hakim Mahkamah Agung agar putusan yang dikeluarkan nantinya berpihak pada perjuangan penyelamatan hutan.
ia menambahkan, jika jaksa bermain-main dalam pengajuan kasasi tersebut, maka diduga perkara tersebut sejak awal sudah di setting lemah. "kami akan pantau perkembangan kasus tersebut. kalau bermain-main, maka indikasi mafia hukumnya kuat," tegas Hariansyah.

Pekan lalu, majelis hakim PN Pekanbaru yang diketuai oleh Jahuri Effendi memvonis bebas terdakwa, Ahok. Jaksa penuntut umum Wilsa Riani sebelumnya menuntut Ahok hukuman 1,5 tahun. sementara itu, lebih sepekan setelah vonis bebas Ahok, kejaksaan negeri Pekanbaru tak kunjung melakukan upaya hukum kasasi ke MA.
Kepala seksi Pidana Umum Kejari Pekanbaru, Abun Hasbullah kepada Tribun, selasa (12/7) menyatakan pihaknya belum mendatarkan kasasi."Belum, tapi segera kami ajukan," terangnya lewat pesan singkat telpon seluler.
 Jaksa penuntut umum kasus Ahok, Wilsa Riani memastikan, pihaknya akan mengajukan kasasi tersebut. Menurutnya, masih ada waktu beberapa hari lagi untuk mengajukan kasasi. " Pastilah, kita pasti ajukan kasasi," kata Wilsa ditemui PN Pekanbaru. (ran)

Selasa, 12 Juli 2011

Waduh..., 14 Perusahaan Masih Beroperasi

menhut.jpg
BANGKINANG, TRIBUN - Dari ratusan perusahaan di Kabupaten Kampar, 14 di antaranya telah dicabut izin prinsip pelepasan kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan RI. Meski demikian, hingga kini perusahaan-perusahaan itu masih melakukan kegiatan produksinya.

Pada 14 April 2011 lalu, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan menyatakan, dari 251 perusahaan di Indonesia telah dicabut izin prinsip pelepasan hutannya. Hal itu diungkapkan langsung oleh Menteri Kehutanan, Zulkifli di sela-sela saat menghadiri acara 3rd Indo Green Forestry Expo 2011.

Untuk membicarakan persoalan ini, Komisi I DPRD Kampar akan menggelar dengar pendapat hari ini, Selasa (28/6). Wakil rakyat mengundang perusahaan, Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan Kampar. 

Kepala Dinas Kehutanan Kampar, Asril Astaman saat dikonfirmasi membenarkan soal undangan tersebut. Namun, ia mengaku benar-benar tidak mengetahui soal izin prinsip tersebut. 

"Saya tidak tahu itu. Sama sekali tidak tahu. Kemarin saja Bupati pernah bilang soal itu," ujar Asril Astaman kepada Tribun, Senin (27/6), di kantornya. 

Ia mengatakan, surat pemberitahuan dari Kementerian Kehutanan RI atau Dinas Kehutanan Riau tidak pernah diterima soal pencabutan izin prinsip tersebut. Selain itu, Asril mengaku, tidak mengetahui soal jumlah perusahaan diduga bermasalah sebagaimana data yang sampai di tangan Tribun. 

Menurutnya, persoalan itu lebih diketahui oleh Dinas Perkebunan Kampar.
"Nggak tahulah. Entah sudah sampai di Dinas Provinsi (Dishut) Riau, nggak taulah. Ada yang bilang tujuh, 19, macamlah. Mungkin Dinas Perkebunan tahu itu," sambungnya.

Terpisah, Wakil Ketua I Komisi I DPRD Kampar, Miswar Pasai mengatakan, pertemuan tersebut untuk meminta kejelasan dari perusahaan dan instansi terkait lainnya. Diungkapkannya, dengar pendapat tersebut digelar untuk meminta pihak perusahaan dapat mengurus izin prinsip pelepasan kawasan hutan yang dikuasai perusahaan tersebut.

"Kalau memang nggak bisa diurus, kita harus tahu. Harus tahu konsekuensi hukumnya dan bisa diputuskan di pengadilan. Bisa-bisa nanti harus gulung tikar," jelas Miswar kepada wartawan.

Miswar menyesalkan sikap Dinas Perkebunan Kampar yang tidak pernah terbuka soal perizinan tersebut. Seingatnya, Dewan pernah meminta keterangan dari Dinas Perkebunan itu. 

Namun data tidak dapat disajikan sama sekali. "Dinas tidak pernah terbuka dengan anggota dewan," jelasnya. 

Ia menduga, adanya kongkalikong antara pemerintah dengan perusahaan. Pasalnya, pengurusan izin prinsip sejatinya harus melalui pemerintah. "Biasanya, ada yang sampai di gubernur. Sebelumnya, bupati harus mengeluarkan rekomendasi," katanya.

Undangan dengar pendapat (hearing) dilakukan bertahap. Miswar mengatakan, hari ini dijadwalkan dewan akan mengundang PT Flora Wahana Tata. Perusahaan ini merupakan satu dari perusahaan yang izin prinsipnya dicabut. Perusahaan ini memiliki 1.100 hektare di Kecamatan Gunung Sahilan dan Kampar Kiri Tengah. 

Pertanyakan Kepemilikan HGU
WAKIL Ketua Komisi I DPRD Kampar, Miswar Pasai mempertanyakan kepemilikan perizinan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan bermasalah tersebut. Pasalnya, HGU tidak bisa diterbitkan bila izin prinsip pelepasan kawasan hutan belum dimiliki.

Selain itu, persoalan HGU dapat disinergikan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kampar. Diungkapkannya, fakta di lapangan menunjukkan PAD mengalami penurunan, padahal perusahaan senantiasa terus berkembang. 
"Tahun 2009, PAD Rp 116 miliar untuk semua sektor. Tapi 2010, turun menjadi Rp 86 miliar. Bicara soal HGU berarti bicara soal pajak juga kan. Nah, ini kok malah turun PAD kita kalau perusahaan sudah punya HGU. Kalaupun ada, kemana dibayarkan pajak perusahaan itu?," ujarnya curiga. 

Miswar mencatat, PAD paling kecil di Kampar justru dari sektor kehutanan. 
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar soal pemanfaatan hutan oleh perusahaan. Ia berharap, pemerintah dapat menyelesaikan persoalan HGU di Kampar.

"Perusahaan yang tidak punya HGU, izinnya harus dicabut. Dan harus mengganti kerugian negara serta dampak sosial masyarakat yang ditimbulkan," pungkasnya.

Izin Perusahaan Dicabut 
Perusahaan                                     Luas     

1. PT. Perkebunan V (Sei Garo)            700 ha
2. PT. Ciliandra Perkasa                6.600 
3. PT. Flora Wahana Tata              1.100 
4. PT. Hutahaean (II)                    2.380 
5. PT. KPM Alkautsar/
    Ivo Mas Tunggal (IV)                8.250 
6. PT. Multi Mitra Prakarsa Raya (I)  3.000
7. PT. Padasa Enam Utama              3.890 
8. PT. Subur Arum Makmur              1630 
9. PT. Serikat Putra (II)              5.670 
10. PT. Torganda                          10.200 
11. PT. Unico Bima Sari (II)              4.430 
12. PT. Wanasari Nusantara (II)      5.500 
13. PT. Sakti Sawit Jaya              7.870
14. PT. Riau Muda Agrindo              11.000
Sumber : Departemen Kehutanan RI (Per Desember 2010)

Editor : junaidi

Senin, 27 Juni 2011

Walhi: Gubernur Tak Layak Dapat Penghargaan UNESCO



Metrotvnews.com, Pekanbaru: Gubernur Riau Rusli Zainal dianggap tak layak mendapat penghargaan lingkungan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Dunia (UNESCO). Sebab, Rusli Zainal tersandung kasus pembalakan liar di Riau. Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Wahanan Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Hariansyah Usman, di Pekanbaru, Selasa (11/5).

Menurut Hariansyah, UNESCO seharusnya mempertimbangkan kasus pembalakkan liar yang melibatkan Gubernur Rusli. Pasalnya, kasus ini tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi dan Satuan Tugas Antimafia Hukum.

Rencananya, Gubernur Riau akan menerima penghargaan itu pada 1 Juni di Paris, Perancis. Menurut Walhi, Gubernur Riau gagal menghentikan praktik penebangan liar di sejumlah daerah di provinsi itu. Riau merupakan provinsi dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di Indonesia, yakni 160 ribu hektare per tahun.(***)

sumber : http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2010/05/11/105121/Walhi-Gubernur-Tak-Layak-Dapat-Penghargaan-UNESCO/82

Senin, 20 Juni 2011

Walhi Riau: PT RBH Diduga Belum Punya Izin Pakai Kawasan Hutan


Pekanbaru - PT RBH, perusahaan tambang batubara di Riau, diduga belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Disamping itu perusahaan tambang ini juga dinilai telah merusak lingkungan.Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Hariansyah Usman mengatakan, perusahaan ini memiliki luas konsesi 24.450 hektar di Kabupatan Indragiri Hulu (Inhu) Riau.
"Namun belakangan diduga, perusahaan ini belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Tapi anehnya perusahaan ini sudah beroperasi sejak lama," kata Kaka dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (20/6/2011) di Pekanbaru.
Idealnya, perusahaan ini baru bisa beroperasi bila sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Walhi menilai, ada kejanggalan dalam operasi perusahaan BRH tersebut. "Beroperasi tanpa ada izin dari Menhut, tentulah bagian tindak pidana lingkungan. Ini harus diusut," tegas Kaka.
Di samping itu, data Walhi menyebutkan, keberadaan tambang batu bara PT BRH ini, juga mencemari lingkungan. Dua aliran sungai yakni sungai Batang Gangsal dan sungai Batang Cinako kini tercemar setiap turun hujan.
"Kalau lagi hujan deras, maka air sungai akan berubah warna yang keruh. Ini akibat komponen bekas galian tambang batu baru terbawa air deras saat hujan yang mengalir ke sungai," kata Kaka.Pihak Walhi bersama masyarakat setempat, juga pernah menemukan sejumlah ikan mati akibat limbah perusahaan tambang batu bara tersebut. Untuk di kawasan sungai Batang Gangsal, di daerah aliran sungai (DAS) terdapat 5 desa sedangkan sungai Batang Cinako terdapat dua desa.
"Masyarakat yang bergantung hidup di pinggir sungai ini merasa resah akibat limbah dari penambangan batu bara. Mestinya pemerintah segera meninjau ulang soal operasional perusahaan tersebut," kata Kaka

Sabtu, 18 Juni 2011

Hari Lingkungan Hidup: Menjelang Musnahnya Hutan Riau 2025



Pekanbaru|Gurindam12. Tatakelola sektor kehutanan di Indonesia khususnya Propinsi Riau mengalami kesalahan yang fatal. Betapa tidak, tahun 1990an sampai – 2011 Riau khususnya mendapat banyak protes khususnya dari negri Jiran. Ini adalah bentuk palingnyata dimata kita.Dalam memperingati hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 juni 2011 ini Himpunan Mahaiswa Pendidikan Biologi Universitas Islam Riau menggelar sebuah seminar dengan judul Save of Riau Forest “Menjelang Musnahnya Hutan Riau 2025”. Dalam seminar ini dihadiri oleh tiga narasumber, yaitu Ridwan Kamal dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Hariansyah Usman dari Wahana Lingkungan Hidup Daerah Riau serta Muslim dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau.

Seminar yang dibuka pada pukul 09.00 WIB tersebut dihadiri oleh banyak mahasiswa, tidak saja pada jurusan Biologi, tetapi juga dari jurusan-jurusan lain, seperti jurusan Bahasa Inggris, Sastra Jepang dan yang lainnya. Ruangan aula sangat padat, semua kursi terisi bahkan ada yang harus rela berdiri. Begitulah antusias mahasiswa dalam seminar tersebut. Ini merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya banyak kepedulian mahasiswa dalam melihat realita rusaknya alam Riau.

“Kewenangan saat ini semua ada di Pemerintah Pusat, daerah ada lagi kewenangan soal perijinan” tutur Ridwan Kamal saat memberikan materi pada acara tersebut. Ridwan juga menambahkan atas kesepakatan ide mengenai pembuatan surat atau petisi yang diusulkan oleh Hariansyah Usman agar Riau ini tidak luluh lantak. Dalam hal kehutanan Dinas Kehutanan Propinsi Riau tidak banyak mempunyai kewenangan. Namun demikian, harapan masyarakat Dinas Kehutanan tidak hanya diam. 

“Disamping Riau yang kaya akan Sumber Daya Alamnya, Riau juga mempunyai banyak persoalan. Khususnya pada sektor kehutanan. Bahkan untuk kawasan kehutanan sangat sedikit sekali” tutur Hariansyah usman dalam acara tersebut. Bahkan menurut Hariansyah Usman, keluarnya Inpres tentang Moratorium yang baru saja di keluarkan Oleh presiden yaitu pada tahun 2011 tidak efektif. Bahkan untuk daerah penerapan itu pada tahun 2012.

Hal sedana juga ditambahkan oleh Muslim selaku koordinator Jikalahari. Inpres mengenai moratorium disektor kehutanan yang dalam hal ini Inpres Moratorium ini adalah mengenai ijin. Sementara Riau sudah tidak ada lagi kawasan untuk itu. Artinya Inpres ini memang tidak akan bermanfaat apa-apa. Moratorium ini juga masyarakat jangan mendengar, karena ini konteknya bukan mengenai penebangan melainkan perijinan. Dalam dua tahun ini penghancuran itu masih akan terus terjadi , jadi yang harus dilakukan saat ini adalah moratorium konversi hutan dan lahan. Dan Riau tanpa moratoriumpun akan selamat, karena memang kawasan yang tersisa adalah kawasan yang dilindungi. Ungkapnya tegas. [dik]


sumber ; http://www.gurindam12.com/2011/06/hari-lingkungan-hidup-menjelang.html

Jumat, 17 Juni 2011

Advokasi Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Kerangka RSPO


Pekanbaru |Gurindam12. Training of Trainers (ToT) Memahami Roundtable on Sustanaible Palm Oil (RSPO) dalam kerangka advokasi perkebunan kelapa sawit yang ditaja oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau pada Rabu-Kamis (8-9/6) di Hotel Pelangi Pekanbaru diikuti oleh para peserta yang berasal dari perwakilan organisasi WALHI Se-Sumatera.

Menurut Direktur WALHI Riau | Hariansyah Usman, Training ini dilakukan dengan alasan bahwa sampai saat ini perkebunan kelapa sawit terus melakukan ekspansi dan perluasan, hal ini tidak terlepas karena adanya permintaan pasar yang begitu besar. Akibat dari hal tersebut banyak sekali terjadi kasus-kasus mulai dari konflik sosial maupun perusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Disisi lain saat ini ada sebuah wadah atau forum RSPO yang merupakan gabungan dari para pelaku usaha baik itu produsen maupun konsumen, para pemerhati lingkungan, pemerintah dan masyarakat. RSPO diharapkan dapat melahirkan sebuah pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan dan lestari. Maka dari itu penting bagi para aktivis WALHI untuk dapat memahami sejauh mana RSPO ini bisa efektif dan bisa meminimalisir dan kalau dapat menghilangkan konflik-konflik yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit tersebut.

Harapan dari pelatihan ini semua peserta pelatihan akan mampu membawa materi dan pengetahuan ini untuk disebarluaskan baik dalam kalangan para pemerhati lingkungan (NGO) maupun untuk masyarakat yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayah sumatera ini, ucapnya! (Hsm)

sumber : http://www.gurindam12.com/2011/06/advokasi-perkebunan-kelapa-sawit-dalam.html


Selasa, 14 Juni 2011

PETI DI KUANSING MAKIN MARAK

03062011147.jpg
TELUK KUANTAN, HALUAN — Maraknya aksi penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) sampai saat ini belum bisa dihentikan. Padahal, aktivitas PETI ini jelas-jelas ilegal dan melanggar undang-undang lingkungan.
Aksi PETI saat ini tidak lagi berlangsung secara sembunyi. Bahkan saat  ini telah sampai ke tengah-tengah pemukiman masya­rakat. Selain mengeluarkan suara yang bising, aktivitas PETI ini juga akan merusak lingkungan. Masya­rakat juga dikhawatirkan akan terkena penyakit berbahaya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wila­yah Riau, Hariansyah Usman saat dihubungi Selasa (7/6) menilai, aktivitas PETI yang masih berlan­jut di Kuansing  dikarenakan lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan kurang tanggapnya pihak kepolisian.
"Pemerintah harus bertanggung jawab dan  secepatnya bertindak terhadap indikasi tambang liar di Kuansing karena telah melanggar UU Lingkungan. Pihak kepolisian juga tidak harus menunggu laporan dari masyarakat atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat ulah PETI. Masyarakat di daerah memakai sumber air untuk kehidupan sehari-hari. Kalau tercemar akibat aktivitas PETI, siapa yang harus bertanggung jawab?" tanya Hariansyah Usman.
Menurutnya, aktivitas PETI ini akan menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan di Kuansing. Sumber air yang ada di Sungai Kuantan dan sungai lainnya akan tercemar dan tidak bisa dipakai masyarakat yang masih bergantung kepada sungai.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius. Pemerintah dan pihak kepolisian harus bertindak cepat sebelum aktivitas PETI bertambah banyak dan meng­ancam lingkungan yang ada di Kuansing. "Kalau kita perhatikan di daerah lain, biasanya modus para pelaku PETI ini memakai bahan kimia yang bisa mem­bahayakan masyarakat yang me­ma­kai sumber air sungai untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini perlu jadi perhatian yang serius," ujarnya.
Heriansyah Usman juga menye­rukan kepada masyarakat Kuan­sing agar melaporkan masalah ini ke pemerintah dan aparat berwe­nang. Menurutnya, masyarakat harus mendapatkan hak asasinya sebagai warga untuk mendapatkan kehidupan yang sehat. Masyarakat pu­nya hak dan hak tersebut di­lindungi undang-undang," ujar­nya.
Madi, salah seorang warga Desa Banjar Padang, Kecamatan Kuantan Mudik yang ditemui wartawan koran ini Minggu (5/6), mengaku banyak masyarakat yang resah akibat aktivitas PETI ini.
Selama dua tahun aktivitas PETI di hulu Sungai Kuantan, dan saat ini telah sampai ke ibukota kecamatan, tepatnya didua desa yakni desa Koto Lubuk Jambi dan Pulau Binjai dan desa lainnya yang ada di hulu Sungai Kuantan, selama itu pula air Sungai Kuantan tak pernah jernih lagi. Masyarakat terpaksa mandi di sungai yang keruh setiap harinya.
PETI juga mengakibatkan sejumlah pulau di Sungai Kuantan yang ada di Kecamatan Kuantan Mudik tidak akan bisa diman­faatkan warga lagi.
Masyarakat disekitar juga terganggu dengan suara bising yang muncul dari kapal dompeng. Masyarakat juga cemas dan kha­watir, air PAM yang mengalir ke rumah-rumah yang ada di pusat kota Lubuk Jambi, jangan-jangan telah tercemar. (h/tim)