Selasa, 31 Mei 2011

Inpres Moratorium Tak Pengaruh Terhadap Upaya Penyelamatan Hutan

PEKANBARU(Riautimes)- Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan gambut, dinilai tak akan memberikan dampak apa-apa terhadap upaya penyelamatan hutan alam. Ada upaya pembohongan publik untuk melindungi pengusaha untuk tetap mengkonversi hutan alam. 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Hariansyah Usman kepada riautimes menyebutkan, tenggang waktu selama dua tahun berlakunya Inpres ini diragukan kemampuan dan efektifitasnya dalam penyelamatan hutan alam yang tersisa. Hal ini mengingat kompleksnya persoalan yang ada dalam tata kelola sektor kehutanan termasuk korupsi dan buruknya birokrasi di sektor ini. 

Walhi berpendapat, seharusnya moratorium hutan ini tidak terbatas waktu, melainkan berdasarkan pada pencapaian kriteria dan indikator pelestarian hutan. Terlebih lagi kebijakan ini tidak mengatur dua hal yang menurut Walhi merupakan inti dari moratorium, yakni review izin dan penegakan hukum bidang kehutanan. 

“Penundaan perizinan tidak cukup untuk menyelamatkan hutan, perlu adanya penegakan hukum agar ada efek jera untuk memperbaiki tata kelola di sektor kehutanan,” kata Hariansyah. 

Untuk Riau yang tingkat kerusakan hutannya tertinggi, Inpres Moratorium ini menurut Hariansyah juga tak akan memberikan dampak yang signifikan. Inpres tak akan mengurangi tingginya emisi karbon akibat dari penebangan hutan alam serta konversi lahan gambut oleh pelaku industri kehutanan. 

Hariansyah justru menilai Inpres ini dikeluarkan untuk melindungi pengusaha yang bergerak di sektor kehutanan. Seharusnya, bentuk kebijakan moratorium ini adalah Undang-undang atau paling tidak Peraturan Presiden (Perpres). 

Inpres merupakan perintah Presiden kepada bawahan yang lebih bersifat individual, sedangkan permasalahan moratorium hutan ini menyangkut hajat hidup orang banyak yang melibatkan banyak aktor. Untuk itu seharusnya diterbitkan dalam bentuk peraturan yang berlaku umum. 

Pada Diktum pertama Inpres No. 10 Tahun 2011 disebutkan moratorium dilakukan pada kawasan yang memang sudah dilindungi. Sedangkan target moratorium hutan sebenarnya adalah menyelamatkan hutan yang tersisa di luar kawasan yang dilindungi. 

Selain itu, adanya pengecualian moratorium pada diktum kedua Inpres No. 10 Tahun 2011, menurut Hariansyah Usman juga akan memperkecil luasan kawasan yang mesti diselamatkan karena tetap bisa dikonversi. Hal tersebut menurutnya juga bertentangan dengan UU Kehutanan. 

“Kita melihat ini sebagai pembohongan publik. Kita tetap mendesak pemerintah RI untuk melaksanakan moratoriumyang sebenarnya,” tutup Eksekutif Direktur Walhi Riau ini.(Ndi)


sumber : http://www.riautimes.com/beritateks.php?idberitateks=1635

Walhi Anggap Pusdakarhutla Riau Mandul

PEKANBARU - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Hariansyah Usman menganggap, Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla) Riau mandul, tak bisa melaksanakan peran dan fungsinya. Harusnya, sebagai lembaga yang pengendali, Pusdakarhutla sudah bisa mengantisipasi, sebelum kebakaran itu ada.

Menurut Hariansyah, tidak jalannya peran dan fungsi Pusdakarhutla bisa dibuktikan, dengan selalu terulangnya kasus Karhutla saat musim kemarau datang, setiap tahun.

"Saya menilai, Pusdakrhutla itu mandul. Tak ada peran dan fungsi yang seharusnya diberikan. Kalau memang alasan karena faktor alam, ini tugas sebagai pengendali. Melakukan langkah-langkah antisipasi sebelum terjadinya Karhutla," kata Hariansyah, Kamis (12/5).

Hariansyah berharap, selama ini Pusdakarhutla hanya melaksanakan fungsi yang bersifat tekhnis seperti memantau atau pun memberikan laporan tentang kepada perkembangan tentang Karhutla. Pada hal, lembaga ini didirikan untuk mengantisipasi terjadinya Karhutla.

Dia mencontohkan, saat datangnya musim kemarau yang disertai panas ektrim. Harusnya Pusdakarhutla telah mampu mempridiksi akan adanya Karhutla. Terutama pada kawasan gambut yang sangat mudah terbakar.

"Harusnya Pusdakarhutla bersama lembaga lingkungan lainnya sudah menerjunkan petugas pada titik lahan yang biasa terbakar. Jadi tidak perlu menunggu setelah terjadinya kebarakan itu," terang Hariansyah.

Ada pun paktor yang tidak kalah peting, yakni lemahnya penegakan hukum dalam menangani kasus kebakaran hutan dan lahan. Sehingga kejahatan lingkungan di Riau terus terjadi. 

"Jika kebakaran hutan dan lahan hanya diumumkan pemerintah tanpa disertai tindakan hukum, itu namanya sia-sia. Apalagi hukum bidang lingkungan di Riau telah lama mandul," tegasnya.

Hariansyah mengatakan, sebagian besar kasus-kasus kejahatan di bidang lingkungan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di wilayah hukum Provinsi Riau berakhir dengan tidak ada kejelasan.(Muh)



sumber : http://www.halloriau.com/read-lingkungan-10588-2011-05-12-walhi-anggap-pusdakarhutla-riau-mandul.html

Senin, 30 Mei 2011

Walhi Minta Perusahaan Pelaku Pidana Kehutanan Diseret ke Pengadilan

Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai PT Kondur Petroleum SA perusahaan pertambangan minyak dan gas (Migas) telah melakukan tindak pidana kehutanan. Ini sehubungan wilayah operasinya tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Kasus tersebut harus diseret ke pengadilan.

"Apa yang telah dilakukan PT Kondor di wilayah operasinya di Kabupaten Meranti, telah melanggar UU Kehutanan NO 41 tahun 2009. Pelanggaran tersebut harus diusut tuntas. Harus ada sanksi pidana yang diterima perusahaan milik keluarga Bakrie tersebut," kata Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman alias Kaka dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (14/04/2011) di Pekanbaru.

Menurut KK sesuai dengan amanat UU Kehutanan NO 41 tahun 2009, dengan jelas diatur penggunaan kawasan hutan harus mendapat izin dari Menhut yang tentunya telah mendapat rekomendasi dari kepala daerah.

"Yang kita ketahui saat ini, baiK Bupati Meranti dan Gubernur Riau belum mengeluarkan izin rekomendasi pinjam pakai kawasan hutan untuk wilayah operasi PT Kondur. Pemerintah tidak boleh diam begitu saja dengan pelanggaran pidana ini, pihak perusahaan harus diseret ke pengadilan untuk menerima sanksi tersebut," kata Kaka.

Menurutnya, Badan Pelaksana Hulu Migas (BP MIGAS) baik di pusat maupun di wilayah Sumatera Bagian Utara jangan dengan gampangnya menyebut persoalan ini diakibatkan tumpang tindih perizinan. Walhi melihat dalam masalah ini tidak ada yang tumpang tindih.

"BP Migas jangan berdalil ini persoalan tumpang tindihnya sebuah perizinan. Izin yang dikeluarkan BP Mgas terhadap PT Kondur terkait eksplorasi. Tapi satu sisi, bila menggunakan kawasan hutan harus ada izin Menhut. Jadi tidak ada tumpang tindihnya perzinan tersebut. Jangan mentang-mentang ini perusahaan Bakrie lantas BP Migas terkesan menutupi kesalahannya PT Kondur," kata Hariansyah.

Walhi menilai apa yang telah dilakukan PT Kondur di Kab Meranti sebuah ujud salah satu bentuk keangkuhan perusahaan tambang di Indonesia. Perusahaan tambang selama ini selalu saja melabrak aturan UU Kehutanan.

"PT Kondur tidak hanya sebatas dihentikan sementara operasinya di Meranti, namun lebih dari itu harus ada sanksi hukum atas pelanggaran yang telah dilakukan," kata Kaka.

Bila pemerintah tidak membawa persoalan tersebut ke ranah hukum, lanjut Kaka, maka Walhi Riau akan mempertimbangkan melakukan gugatan clas action. Hal itu perludilakukan Walhi agar UU Kehutanan dapat ditegakkan untuk menyelamatkan lingkungan.

"Kalau kasus ini dibiarkan pemerintah begitu saja, kita yang akan lakukan gugatan clas action ke PT Kondur," tegas Kaka.

Sebelumnya Kepala BP Migas, Wilayah Sumbagut, Baris Sitorus kepada detikcom mengatakan, bahwa persoalan PT Kondur hanya sebatas tumpang tindihnya perizinan.

"Persoalan ini akan dibahas ditingkat menteri ESDM, BP Migas dan Menteri Kehutanan. Dan tidak mungkin operasi PT Kondur dihentikan karena bagaimanapun hasilnya untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat lewat dana bagi hasil," kata Baris.

(cha/van)
Chaidir Anwar Tanjung - detikNews

Rabu, 25 Mei 2011

Walhi Desak PT Chevron Hentikan Pencemaran Lingkungan di Riau

 
Riau - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyakini aktivitas pertambangan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup di Riau. Perusahaan minyak dari AS itu juga terlibat sengketa dengan warga mengenai jalur pipa minyaknya.

“Di samping sebagai perusahaan minyak terbesar di Indonesia dengan produksi 370 ribu barel per hari, operasi Chevron juga menciptakan persoalan besar. Lingkungan, sengketa lahan dan keselamatan warga dari pipa Chevron, masifnya buangan gas (gas flaring ke udara), pembukaan lahan untuk ladang sumur,” kata Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman, dalam siaran pers yang diterima detikcom, Rabu (25/5/2011).

Berdasar catatan Walhi, pada Oktober 2010, pipa Chevron meledak di Manggala Johnson, Tanah Putih, Riau. Dua orang anak perempuan tersiram minyak mentah di samping luberan minyak mentah yang merupakan bahan beracun berbahaya, kekuatan ledakan pipa tersebut sampai membuat sepeda motor terlempar 15 meter.

“Chevron tidak bisa berdalih dengan alasan kolonialis bahwa pipa mereka lebih dahulu ada dibanding kehidupan masyarakat. Chevron harus memastikan keselamatan pipanya buat warga, bukannya memengaruhi pemerintah dan DPRD untuk menggusur kehidupan warga dari ruang hidup mereka,” kata Usman.

Menurutnya minyak mentah Chevron juga menciptakan pencemaran ke sungai setempat. Pada Maret 2011, warga Rantau Bais mengeluhkan rembesan dan tumpahan minyak di sungai Sebangar hingga mengalir ke sungai Rokan Hilir.

Padahal air sungai itu merupakan sumber air bagi warga desa di sepanjang alirannya. Di sungai itu pula warga menangkap ikan, udang galah, dan mandi serta mencuci di sungai ini. Kualitas kesehatan warga akan terpengaruh buruk dengan sungai yang tercemar.

“Kementerian Lingkungan Hidup telah memberikan peringkat merah kepada Chevron Pacific Indonesia pada tahun 2010, diantaranya karena pengolahan sludge oil (limbah minyak) yang tidak diperbaiki puluhan tahun,” kata Usman.

Karena terus terjadinya tindakan pencemaran lingkungan ini hingga tahun 2011, pemerintah harus lebih serius menindak Chevron. Pemerintah tidak bisa hanya berfokus menaikkan produksi minyak hingga lebih 1 juta barrel per hari, tapi mengorbankan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

“Sesungguhnya, masyarakat lokal dan ekosistem setempat yang memberikan subdisidi terbesar bagi BBM dengan pengorbanan mereka atas lingkungan yang memburuk, kesehatan terganggu, ketidaknyamanan kehidupan karena kehadiran pipa-pipa minyak, gas flaring dan kehadiran berbagai grup sekuriti perusahaan. Tapi subsidi masyarakat bagi produksi minyak Chevron ini tidak pernah diperhitungkan. Justru Chevron yang kerap mengkampanyekan biaya community development, beasiswa bagi segelintir orang,” kata Usman.

Subsidi dari masyarakat dan lingkungan untuk produksi minyak Chevron ini tidak bisa dilanjutkan. Walhi menyerukan, tinggalkan minyak dalam tanah, kembangkan energi terbarukan. Produksi minyak Chevron di Riau telah lewat masa puncak, produksi mulai turun. Minyak pasti akan habis dan lapangan kerja sekarang bagi sekitar 30.000 orang akan hilang.

“Alih-alih menguras sampai habis dan merusak lingkungan, yang perlu dilakukan adalah mengembangkan energi terbarukan dan menjaga lingkungan mendukung kehidupan berkelanjutan,” saran Usman.

(cha/lh)

Jumat, 06 Mei 2011

Walhi: Sinar Mas "Rusak" Cagar Biosfer

Pekanbaru, 4/10 (ANTARA) - LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan, perusahaan perkayuan Sinar Mas Group melalui sejumlah mitranya sedang "merusak" Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau.

Direktur Eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman, di Pekanbaru, Senin, mengatakan, organisasi lingkungan itu menemukan tiga perusahaan mitra pemasok bahan baku industri pulp dan kertas Sinar Mas yang membabat hutan alam.

"Sedikitnya ada tiga kawasan konsesi yang berafiliasi ke Sinar Mas yakni PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari dan PT Sakato Pratama Makmur yang terus membabat hutan alam di Giam Siak Kecil-Bukit Batu," kata Hariansyah.
Bahkan konsesi PT Sakato Pratama Makmur sangat dekat, sekitar ujuh km dari zona inti cagar biosfer, yang kini menjadi daerah konflik manusia versus harimau meyusul tewasnya seorang warga akibat diterkam "si raja hutan" itu.

Harimau itu akhirnya tewas setelah dijebak warga dengan jerat seling pada Kamis (30/10).

Hariansyah mejelaskan, izin-izin penebangan rencana kerja tahunan tahun 2010 memungkinkan mitra Sinar Mas itu menebangi ribuan hektare hutan alam di area gambut berkedalaman lebih dari empat meter di zona penyangga dan transisi cagar biosfer.

Akses perizinan itu telah memiliki andil bagi penebangan liar dan perambahan di dalam lanskap Giam Siak Kecil-Bukit Batu yang berkontribusi bagi emisi karbon yang besar, bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Namun anehnya, kata dia, perusahaan yang bernaung di bendera Asia Pulp and Paper (APP) dengan bangga telah "mengiklankan" cagar itu menjadi program konservasi mereka menyusul organisasi dunia UNESCO menetapkan Giam Siak Kecil-Bukti Batu sebagai cagar biosfer tahun 2009.

Sejak itu, raksasa perusahaan kertas nasional itupun mengintensifkan kampanye karena merasa telah berkontribusi bagi kawasan cagar biosfer sembari terus membuka lebih banyak hutan alam untuk produksi yang berakibat semakin menyempitnya habitat satwa.

"Kami mengimbau Sinar Mas untuk menghentikan penebangan hutan alam dan pembukaan gambut baik yang berada di batas cagar biosfer atau di kawasan penyangga," tegasnya.

Peneliti LIPI menyatakan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukti Batu memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan menjadi rumah bagi 150 spesies burung, 10 jenis mamalia termasuk harimau sumatera, delapan jenis reptil dan 52 spesies tanaman langka dan dilindungi.

Menanggapi hal itu, humas Sinar Mas Forestry Nurul Huda menyatakan, pihak perusahaan dalam berusaha dan bekerja sudah sesuai dengan izin dan ketentuan yang berlaku, termasuk pembagian kawasan konservasi dan tanamn industri perusahaan.

"Jadi kita minta usaha perusahaan dalam penempatan area konservasi dapat diapresiasi, jangan hanya menuding dengan pikiran skeptis dan cenderung negatif," katanya.

Sebelumnya, Nurul mengakui pihaknya menggunakan kayu alam berkisar 5-10 persen dalam pembuatan bubur kertas di pabrik PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) yang memiliki kapasitas dua juta ton per tahun di Perawang, Riau.

Kayu alam diperlukan terutama untuk mengambil serat panjang dari kayu yang diperlukan dalam pengolahan bubur kertas. Namun Nurul membantah perusahaannya menjadi penadah kayu hasil penebangan liar.

http://www.antarariau.com/id/modul/11493/walhi:-sinar-mas-

Walhi Sesalkan Penghargaan UNESCO

Jum'at, 14 Mei 2010
PEKANBARU (Lampost): Pegiat lingkungan menilai UNESCO--Badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan--terlalu gegabah memilih Rusli Zainal sebagai penerima penghargaan lingkungan. Sebab, Gubernur Riau itu sangat tidak layak diapresiasi dengan pengakuan internasional.
"Karena selama dua periode memimpin, Rusli tak pernah memperhatikan bencana ekologis dan eksploitasi kehutanan yang menimpa Riau," kata Direktur Eksekutif Walhi Riau, Hariansyah Usman, di Pekanbaru, kemarin (13-5).
Dia menyebutkan saat ini kondisi kerusakan Riau termasuk yang paling parah ketimbang provinsi lain. Akibatnya kawasan tersebut rutin dihinggapi bencana banjir dan kabut asap. "Ditambah lagi praktek pembalakan liar yang terus berlangsung," ujar Hariansyah.
Ia menambahkan kini sudah tiga kepala dinas Riau tersangkut kasus korupsi kehutanan dan pembalakan liar yang masih ditangani KPK dan Satgas Mafia Hukum. Sementara Rusli Zainal diperiksa sebagai saksi.
Adapun anugerah penghargaan lingkungan yang rencananya akan diserahkan pada 1 Juni 2010 mendatang di Paris, Prancis, menurut Hariansyah tidak sepatutnya diberikan kepada gubernur. Jika dasar pemberian adalah keberadaan dibukanya cagar biosfer seluas 178.722 hektare di Giam Siak Kecil dan Bukit Batu, Rusli Zainal tak pantas memperoleh kredit.
Cagar tersebut ada, kata Hariansyah, atas inisiasi dan usulan dari PT Sinar Mas Forestry. Perusahaan HTI tersebut mengalokasikan sebagian lahan konsensinya di dua kabupaten, yakni Siak dan Bengkalis, untuk pembentukan cagar biosfer.
"Cagar biosfer itu hasil kompromi karena pada saat yang sama, di tahun 2009 ketika insiasi Sinarmas untuk cagar itu, diberikan juga izin rencana kerja tahunan baru bagi penebangan hutan alam di Riau kepada perusahaan kayu. Itulah yang harus ditanyakan," kata Afdhal Mahyuddin, editor Eyes on The Forest (EoF).
Menurut investigasi EoF--yang merupakan koalisi lembaga swadaya masyarakat peduli lingkungan terdiri dari Jikalahari, Walhi Riau, dan WWF-Indonesia--saat ini masih terjadi praktek pembalakan di sekitar cagar biosfer. "Tapi gubernur hanya diam saja, tidak mengambil sikap, padahal puluhan ribu warga juga sudah menyatakan penentangan," kata Afdhal. (MI/U-3)

Walhi Anugerahi SMAN 8 Pekanbaru, Pelopor Sekolah Hijau


Pekanbaru  – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI ) Riau menganugerahi sekolah SMA N 8 Pekanbaru sebagai pelopor sekolah hijau (pioneers for green school) di Provinsi Riau.
Piagam penghargaan tersebut diserahkan langsung Direktur Eksekutif WALHI Riau, Hariansyah Usman, Sabtu (30/5/09) pagi disela-sela acara Seminar dan Diskusi Panel Bersempena Hari Lingkungan Hidup se Dunia, 5 Juni 2009 di aula SMAN 8 Pekanbaru.

“Ini sebagai penghargaan Walhi Riau kepada SMAN 8 Pekanbaru. Karena, mempelopori diadakannya kurikulum Pelajaran Lingkungan Hidup (PLH) yang wajib diikuti oleh seluruh siswa. Dan hendaknya, sekolah sederajat lainnya juga bisa melakukan hal yang sama, sebagai bentuk kepedulian kita menyadarkan siswa dan generasi muda, akan bahayanya akibat dari merusak lingkungan bagi kelangssung makhluk hidup di dunia ini,” kata Hariansyah Usman kepada wartawan usai memberikan materi seminar.

Menurut Hariansyah, bahwa selain menjadi PLH sebagai kurikulum wajib bagi siswa, SMA N 8 juga pro aktif dalam menjaga lingkungan sekitar sekolah dengan membuat Laboratorium Alam SMAN 8 dengan mengusung jargon BUMA BUHA MATA (Buka Mata, Buka Hati, Memelihara Alam Titipan Allah). “Beberapa kali kami mengamati aktivitas SMAN 8 dalam memelihara lingkungan. Mereka sangat pro aktif. Apalagi, kegiatan siswanya juga sangat positif melestarikan lingkungan,” kata Hariansyah.

Sementara, dalam sesi seminar dan diskusi panel tersebut, SMA N 8 mengundang semua sekolah SMA/MA sederajat di Pekanbaru untuk sama-sama peduli dengan kelestarian lingkungan. Masing-masing sekolah diminta mengutus utusannya, guna menyamakan persepsi akan bahayanya kerusakan lingkungan hidup yang mempengaaruhi terjadinya pemanasan global seperti yang kita rasakan saat ini, jelas Kaka, sapaan akrab Hariansyah Usman.

”Ke depan, penghargaan serupa akan menjadi agenda tahunan Walhi Riau untuk
menyadarkan kita semua, agar senaniasa melestarikan lingkungan. Pemberian penghargaan tidak mengikat kepada institusi pendidikan atau institusi lain, tetapi juga kepada individu yang Walhi anggap peduli terhadap kelestarian lingkungan,” kata Kaka.
(tim adangdaradjatun.com/saturiau/walhi/[RYN])

Walhi: Kampanye Sinar Mas Tidak Sesuai Fakta

indonesia-peatland
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau meminta perusahaan Sinar Mas Group menghentikan kampanye positif Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Bukit Batu, yang mengklaim telah melindungi area konservasi itu. Menurut Walhi, apa yang dikampanyekan Sinar Mas tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
“Apa yang dikampanyekan Sinar Mas terhadap Giam Siak Kecil-Bukit Batu tidak sesuai fakta, karena itu kami minta kampanye itu segera dihentikan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Riau, Hariansyah Usman, yang dikutip oleh ANTARA.
Hariansyah menjelaskan, pihaknya masih menemukan penebangan hutan alam di kawasan penyangga lahan konservasi cagar biosfer yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan mitra Sinar Mas. Padahal, cagar yang berisi hutan gambut dengan cadangan karbon terbesar di Kabupaten Siak dan Bengkalis merupakan kawasan hutan lindung sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau tahun 1994. Bukan hanya itu, Hariansyah mengungkapkan bahwa kegiatan penebangan di hutan alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu masih terus berlangsung, meski kawasan itu telah ditetapkan UNESCO sebagai cagar biosfer.
“Laporan investigasi lembaga pemerhati lingkungan Eyes on The Forest (EoF) pada Juli 2009 menemukan bahwa dua perusahaan afiliasi Sinar Mas terus menebangi hutan di blok sisa terakhir hutan alam di zona penyangga cagar biosfer,” tegas Hariansyah.

Penambangan Besi di Lingga Salahi Aturan

berita2.com (Batam): Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau mengatakan bahwa pertambangan biji besi di kawasan Pulau Temiang, Desa  Temiang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, adalah illegal karena tidak berdasarkan prosedur  dari Direktorat Jenderal Minerlal, Batuabara, dan Panas Bumi.

“Jelas dari informasi yang kami terima izin pertambangan yang dilakukan pengusaha Lingga tersebut sudah bertentangan dengan peraturan Pertambangan yang berlaku di Indonesia. Ini seharusnya disikapi secara nyata, apalagi izin yang digunakan awalnya untuk pariwisata lalu berganti menjadi penambangan, ada apa ini?” kata direktur eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman, Jumat (15/10/2010).

Menurut dia, izin pertambangan yang diberikan oleh pejabat di Kabupaten Lingga juga seharusnya menurut prosedur yang berlaku, yaitu dengan melakukan analisa dampak lingkungan, peninjauan lapangan yang benar, sehingga layak atau tidak dilakukan penambangan tidak buru-buru mengeluarkan izin.

“Pengaruhnya sangat besar. Apalagi pulau tersebut bagus untuk pariwisata, dirusak dengan dengan penambangan. Bisa-bisa pulau di Kepulauan Riau itu tenggelam akibat pemberian izin pertambangan yang tidak pada tempatnya,” kata dia.

Pihak-pihak terkait soal penambangan biji besi di Lingga tersebut selain melanggar Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Karena dalam UU tersebut, kata dia, sudah dijelaskan apa saja sanksi yang akan diberikan kepada mereka terkait kerusakan lingkungan.

“Pihak kepolisian bisa saja melakukan pemeriksaan secara intensif. Dan jika terbukti mereka melanggar aturan yang berlaku ada sanksi pidananya,” kata dia.

Seperti diketahui penambangan biji besi di Pulau Temiang, Kabupaten Lingga, Kepri, menjadi polemic berkepanjangan. Di mana PT Bina Perkasa yang awalnya akan membangun resort di daerah tersebut menemukan biji besi, sehingga izin awalnya adalah untuk membangun tempat pariwisata akhirnya dialih fungsikan menjadi penambangan biji besi.Biji besi tersebut sudah diekspor ke Cina oleh perusahaan tersebut.

Hal ini menjadi kontroversi yang hingga saat ini sebab perusahaan tersebut mengaku telah mengantongi izin dari Bupati Lingga No122/KPTS/IV/2010 tentang persetujuan izin usaha pertambangan operasi produksi pengangkutan dan penjualan sementara kepada perusahaan tersebut.

Direktur PT BIna Perkasa Erwin Layong mengelak bahwa perusahaannya melakukan penambangan biji besi. Sebab apa yang dilakukannnya sudah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.



http://www.berita2.com/daerah/sumatera/7365-penambangan-besi-di-lingga-salahi-aturan.html

KPAID Siak dan WALHI Riau Sosialisasi Pendidikan Lingkungan

Sabtu, 13 Maret 2010 | 11:11 WIB

Laporan: Ramadalius


SIAK, TRIBUNPEKANBARU.COM - Kabupaten Siak memiliki kekayaan alam
berlimpah tetapi terus mengalami kerusakan cukup parah. Hutan terus
dibabat, sehingga akan berdampak kepada generasi anak cucu di masa
mendatang.



"Untuk itu kita ingin memahami arti pentingnya pendidikan lingkungan
kepada anak-anak sekolah di Kabupaten Siak. Sehingga diharapkan setiap
sekolah di Kabupaten Siak dapat memasukkan pendidikan lingkungan dalam
kurikulum pengajaran," kata Sekretaris Komisi Perlindungan Anak
Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Siak, Ecy Novemirata, saat
sosialisasi pendidikan lingkungan kepada guru-guru bidang kesiswaan
dari lima sekolah menengah atas di Kabupaten Siak, Jumat (12/3).



Menurut Ecy Novemirita, sekitar 80 parsen wilayah Kabupaten Siak
merupakan hutan gambut berbagai bentuk. Ada yang dangkal, ada pula yang
dalam. Jika hutan terus dibabat dan Sungai Siak dicemari dengan
pembuangan sampah dan limbah industri, dipastikan hutan dan Sungai Siak
akan berdampak buruk bagi anak cucu di masa mendatang.



Melihat kondisi ini, KPAID Siak, mencoba memberikan pemahaman
pentingnya pendidikan lingkungan sejak usia dini. "Saat ini pemerintah
menggalakkan program menanam pohon, namun tidak menumbuhkan kecintaan
anak-anak terhadap arti pentingnya lingkungan itu sendiri terhadap
kelangsungan hidup manusia," ungkap Ecy.



Sosialisasi lingkungan kemarin, menghadirkan guru dari lima sekolah
menengah atas di Siak. Seperti SMKN 1 Siak, SMAN Siak, MAN Siak, SMAN
13 Siak, dan SMAN 19 Siak. Setiap sekolah mengutus dua orang guru
bidang kesiswaan.



Darwin, seorang guru SMKN I Siak, menyambut positif rencana KPAID untuk
menanamkan pendidikan berwawasan lingkungan kepada anak-anak sekolah
sejak dini. "Jika siswa sudah diajarkan pendidikan dan pemahaman
tentang lingkungan serta arti pentingnya tumbuhan dan ekologi yang
hidup d isekitarnya, maka akan timbul kecintaan anak-anak untuk terus
memelihara," ungkapnya.



Dia juga mengaku, ikut merasakan dampak penebangan hutan Riau di Kabupaten Siak
untuk tanaman sawit.



Sementara itu, Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Riau, dalam pemaparannya kepada para guru peserta
sosialisasi mengatakan, sudah seharusnya pendidikan lingkungan
ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini.



"Bagaimana pendidikan lingkungan ini bisa menjadi salah satu kurikulum
pada setiap sekolah di Kabupaten Siak. Karena Walhi menilai, untuk
Provinsi Riau sangat minim sekali pendidikan lingkungan di ajarkan
kepada anak-anak sekolah di Riau," katanya.



Menurutnya, selama ini dengan tidak diajarkanya pendidikan lingkungan
seabgai salah satu materi pengajaran berbentuk kurikulum tetap,
mengindikasikan di Riau isu lingkungan belum menjadi bagian penting
dalam kehidupan masyarakat.



Walhi, kata Hariansyah, menginginkan digalakkannya pendidikan lingkungan dengan
materi-materi lingkungan lokal.



"Beri pemahaman kondisi lingkungan kepada anak-anak didik, sehingga
dengan adanya pembelajaran yang berkelanjutan dari sekolah kepada
anak-anak didik, hal ini akan menjadikan mereka paham arti pentingnya
menjaga lingkungan," pungkasnya. (han)


http://groups.yahoo.com/group/infosawit/message/6988

Ada 172 Titik Api Tersebar di Hutan dan Lahan Riau

Pemantauan satelit Modis Terra aqua yang dilakukan oleh Eyes on The Forest (EoF) periode 18 - 21 Oktober 2010 menemukan 172 titik api (hotspot) di Provinsi Riau. Ada sekitar 82 titik api berada di areal konsesi HTI sisanya 90 titik api menyebar di Lahan Perkebunan sawit, hutan dan padang alang-alang. Dari 82 titik api di HTI terdeteksi 62 berada di konsesi perusahaan yang berafiliasi dengan APP/Sinar Mas Grup, kemudian 20 titik api berada di konsesi APRIL Grup.

Demikian menurut Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dalam siaran persnya 23 Oktober 2010.
Disebutkan bahwa beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan APP / Sinarmas yang dianalisis EoF berdasarkan satelit Modis yang berkobar oleh kebakaran pada bulan Oktober adalah PT. Tiara Cahaya Delima (Giam Siak Kecil blok), PT. Liwa Perdana Mandiri, PT Ruas Utama Jaya (Senepis blok), PT. Surya Dumai Agrindo, PT Rimba Rokan Perkasa, PT Arara Abadi dan PT Satria Perkasa Agung. Sementara, perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL yang berkobar oleh kebakaran adalah di konsesi PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Pusaka Mega.

Menanggapi fenomena kebakaran hutan dan lahan itu, Usman mengatakan bahwa paling tidak ada 2 (dua) hal penting menurut Walhi Riau yang harus segera dilakukan perbaikan oleh pemerintah agar Tragedi Asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia khususnya di Riau tidak terus terulang.

Pertama, upaya pencegahan yang tidak optimal dilakukan dan tidak terkoordinasi dengan baik. Laporan BMKG yang menyebutkan terjadi peningkatan suhu ekstrim di Riau 36 - 38 derajat Celcius seharusnya sudah dapat dijadikan peringatan bagi pemerintah untuk segera melakukan upaya pencegahan, misal meningkatkan operasi pemantauan di lokasi rawan kebakaran dengan koordinasi yang sistematis dari pemerintah pusat, provinsi sampai tingkat desa. Kemudian dilanjutkan dengan pendirian posko-posko di lokasi rawan tersebut.
Kedua, tidak dilakukannya upaya Penegakan Hukum. Fakta masih ditemukannya lokasi kebakaran hutan dan lahan di areal konsesi perusahaan tidak pernah ditindak lanjuti dengan upaya tindakan hukum yang tegas, sehingga tidak pernah menimbulkan efek jera. Salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) pada Desember 2009 di Kabupaten INHU terhadap PT. Bertuah Aneka Yasa (BAY) yang diperkirakan telah menimbulkan kerugian sebesar Rp 30 miliar akibat kebakaran yang terjadi di areal konsesinya di Kecamatan Kuala Cenaku. Kasus ini kemudian tidak jelas sampai dimana prosesnya.
Sementara itu saat konferensi pers terkait satu tahun pengelolaan lingkungan hidup Kabinet Indonesia Bersatu II, Gusti Muhammad Hatta sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) di Jakarta (22/10) mengatakan bahwa pihaknya bersama Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah dan masyarakat telah melakukan penanganan terhadap titik api itu. MenLH juga melakukan komunikasi dengan beberapa menteri lingkungan hidup negara tetangga (Singapura dan Malaysia) mengenai penanganan yang serius telah dilakukan.
“Tugas penanganan titik api seharusnya dilakukan oleh pemerintah tingkat provinsi, tapi kami tetap menurunkan tim untuk ikut menangani dan mencari penyebabnya. Sistem penanganan sudah berjalan,” kata Gusti.
Menurutnya, sementara yang menjadi sumber kabut asap yang sampai ke negeri tetangga berasal dari Bengkalis, Riau. Tim KLH akan ikut menangani titik api di luar hutan. Sedangkan tim Kemenhut menangani titik api di dalam hutan. Namun tetap ada kerjasama untuk memastikan dan menangani sumber titik api di lapangan, apakah di hutan, kebun swasta atau kebun rakyat.
Tidak membakar lahan
Dalam penanganan titik api, KLH juga melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat untuk tidak melakukan pembakaran untuk membuka lahan barunya. Selain itu melakukanwater management di lahan gambut agar bisa mengurangi kebakaran lahan.
MenLH mengatakan, munculnya titik api karena sulitnya pengawasan wilayah Indonesia yang luas dan masih maraknya pembukaan lahan pertanian secara tradisional dengan membakar lahan. Untungnya, hujan yang sering turun karena pengaruh La Nina saat ini juga sangat membantu dalam pemadaman titik api.
Pada tahun 2010 ini, KLH mengaku titik api yang memicu kebakaran hutan turun drastis sebesar 70 persen dibandingkan 2009. Jumlah 70 persen dari 15.000 titik dihitung berdasarkan data acuan 2006. Sedangkan target penurunan hotspot setiap tahun yang harus dicapai adalah 20 persen.
Pengendalian titik api terutama dilakukan di delapan provinsi rawan kebakaran yaitu Riau, Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Namun yang menjadi kewajiban KLH untuk mengendalikan titik api hanya di enam provinsi yaitu empat di Sumatra dan dua di Kalimantan. Lalu KLH menambahnya menjadi delapan provinsi karena menganggapnya rawan.

Penjajahan Perkebunan Ala Hindia Belanda Masih Berlangsung di Riau

Pekanbaru, batamtoday - Penjajahan ala Hindia Belanda di perkebunan-perkebunan di wilayah Riau hingga saat ini masih berlangsung, walau Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad.

Demikian terungkap dalam peringatan 100 tahun perkebunan kelapa sawit hadir di Indonesia, yang diadakan di Pekanbaru, Riau. Acara ini dihari LSM Walhi Riau dan para aktivis serikat petani kelapa sawit (SPKS) serta para petani lainnya.
Dalam keterangan persnya, Mansuetus Darto, Kordinator Forum Nasional SPKS, mengatakan, tidak ada capaian berarti dari 100 tahun perkebunan kelapa sawit di Riau. "Hal ini dapat dilihat dari begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan 100 tahun lalu. Dulu dikuasai Belanda,sekarang berpindah ke tangan konglomerat," sebut Darto dalam rilisnya.

Transisi demokrasi di Indonesi, tandas Darto, belum mampu mentranformasikan struktur perkebunan
karena masih ditopang oleh kolonialisme.
Di saat tepat 100 abad perkebunan, sambungnya, justru kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur. Dia mencontohkan kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap, di mana petani dilarang mengelola kebun seperti model PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dan kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20 % untuk rakyat dan perusahaan 80 %.  "Perkebunan sawit di Indonesia sudah mapan, dan seharusnya pemerintah sudah mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri," pinta Darto.

Karena itu, tandasnya lagi, perlu dilakukan tranformasi struktur perkebunan sebagai solusi persoalan dalam perkebunan, dengan dimulai dari evaluasi ijin usaha perkebunan dan membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun. Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman, menegaskan bahwa Provinsi Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit, dengan luas lahan lebih kurang 2,8 juta. Namun faktanya, hingga saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan.

Ekspansi kebun sawit di hutan gambut jelas sangat berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau. Pada setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api di dalam areal konsesi perusahaan kebun. "Untuk itu momentum satu abad ini penting bagi pemerintah Riau untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisinya menjadi produsen sawit terbesar," tegas Hariansyah. Riwayat Perkebunan Sawit  Dalam sejarahnya, Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkat permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19.

Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008). Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumut dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.

Hariansyah Usman menambahkan konflik paling tinggi di Riau terjadi di wilayah perkebunan. Pada tahun 2010 sekitar 24 % dari total luasan kebun, terjadi konflik. Hal ini diakibatkan masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. Forum Nasional SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. Yang dapat kita simpulkan, cara penjajahan masih dipraktek di masa saat ini, tandas Hariansyah.

Hal senada disampaikan oleh petani sawit yang bermitra dengan PT Tribakti Sari Mas (TBS) di kabupaten Kuantan Singingi, Yuslim, yang juga Sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi. Dia menjelaskan, masih berlangsungnya konflik petani yang bermitra dengan PT. TBS. Bulan Juni lalu, ibu Yusniar mati ditembak polisi karena berjuang untuk memperoleh keadilan dari PT. TBS.

Lanjut dia, hingga saat ini kebun yang tidak diberikan kepada petani sekitar 1.700 Ha oleh PT TBS. Masyarakat sejak beberapa hari lalu, telah melakukan pendudukan kebun inti. Namun PT TBS belum merespon. Selain itu pula tambahnya, PT. TBS membangun kebun plasma setengah hati padahal kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik. Hal lain yang di sorot oleh Yuslim juga adalah pemakaian aparat kepolisian yang berlebihan di PT. TBS jika perusahaan tersebut bermasalah dengan petani.

Hal yang lain juga terjadi di PT MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT Torganda di Kabupaten Rokan Hulu yang mencaplok ladang-ladang masyarakat. Kedua perusahaan tersebut, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010 lalu," terang Yuslim.

(Tunggul Naibaho)
http://www.batamtoday.com/detail_berita.php?id=2651

Produk Kayu RAPP Tak Lolos Sertifikasi

JAKARTA - Produk keras dan pulp PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) terancam mendapat penolakan oleh pasar. Pasalnya, SmartWood, lembaga independen internasional yang menangani sertifikasi pengelolaan hutan, menangguhkan pemberian sertifikat atas produk anak perusahaan Asia Paper Resource International Limited (APRIL).
SmartWood menilai RAPP kembali gagal memenuhi standar minimum sertifikasi dari Forest Stewardship Council, seperti larangan membuka hutan hujan untuk pengadaan bahan baku kertas, merusak hutan termasuk hutan rawa gambut, serta memunculkan konflik dengan masyarakat adat."The Rainforest Alliance telah mengindikasikan permohonan sertifikasi APRIL ditunda berdasarkan hasil audit di lapangan pada Desember 2009, dan berdasarkan informasi dari para stakeholder" demikian pernyataan Smart- Wood yang diterima Tempo kemarin.
Selanjutnya, SmartWood memberikan waktu bagi APRIL untuk memperbaiki kinerja untuk kemudian permohonan sertifikasi dapat diajukan lagi.Presiden Direktur PT RAPP Kusnan Rahmin menjelaskan, A-PRIL telah menjalankan kerja sama dengan SmartWood. Dalam kerja sama itu ada perjanjian yang mengikat, yakni kedua belah pihak menghindari membuat pernyataan sepihak atas hasil audit tersebut. "Sehingga kami akan minta klarifikasi dulu dari pihak terkait mengenai apa yang di-publish itu," dia kepada Tempo menanggapi atas hasil audit SmartWood tersebut kemarin.
Ia kemudian mengatakan, A-PRIL akan senantiasa memegang komitmen untuk mengelola hutan secara lestari termasuk melindungi hutan dan kawasan konservasi hutan bernilai tinggi.Pada Desember 2008, SmartWood menyampaikan hasil audit yang menyatakan APRIL lulus tapi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Namun APRIL tidak mampu memenuhinya.Koordinator lembaga pemerhati Lingkungan Scale-Up, Achmad Zazali, menyambut baik putusan tersebut. Ini menunjukkan bahwa temuan LSM selama ini benar bahwa aktivitas RAPP telah merusak hutan. Ia berharap pemerintah segera mengevaluasi keberadaan RAPP "Ini mestinya menjadi catatan bagi pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan PT RAPP," kata Achmad Zazali di Pekanbaru kemarin.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau Hariansyah Usman mengatakan keberadaan PT RAPP di Riau telah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat dan spesies hutan di Riau."Sertifikasi kepada PT RAPP lebih baik dicabut sepenuhnya karena telah menyebabkan hancurnya hutan di Riau," ujar Hariansyah.Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Joko Arif, menilai hasil audit SmartWood terhadap APRIL sebagai kemenangan kecil bagi gerakan penyelamat hutan dan lingkungan. "Mereka memang tidak punya komitmen untuk penyelamatan hutan, tidak menghargai hak-hak masyarakat," katanya kemarin.
http://bataviase.co.id/node/176645

Sejarah Penguasaan Kebun Sawit di Indonesia

PEKANBARU - Sudah 100 tahun perkebunan kelapa sawit hadir di Indonesia, namun hingga saat ini masih banyak isu dan dampak penguasaan kebun sawit di Indonesia.
Dalam sejarahnya, Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an.

Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh.
Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.
Provinsi Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit. Dengan luas lahan lebih kurang  2, 8 juta ha yang ada di Riau, Faktanya 35% saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan. Ekspansi kebun sawit dihutan gambut jelas sangat berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau.

Pada setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api didalam areal konsesi perusahaan kebun. Untuk itu penting momentum satu abad ini pemerintah Riau melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar .
Luas perkebunan kelapa sawit di riau seluas 2, 8 juta dan sekitar 50,51 % di kelola oleh 356.000 KK. Sisanya di kuasai oleh beberapa perusahaan perkebunan dan hamper 50% dari luas perkebunan swasta di kuasai oleh Negara Malaysia.
Sekelompok masyarakat sipil yang selama ini konsen dengan isu-isu atas dampak perkebunan menyelenggarakan konferensi pers bersama. Organisasi itu antara lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).

Hadir di antaranya adalah direktur eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman, Ketua Forum Nasional SPKS, Mansuetus Darto dan Yuslim sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi yang juga sebagai petani sawit.
Mansuetus darto, kordinator forum Nasional SPKS mengatakan,  tidak ada capaian berarti dari 100 tahun kelapa sawit. Hal ini dapat kita lihat, begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan 100 tahun lalu.

Dulu dikuasai Belanda sekarang berpindah ke tangan konglomerat,’ transisi demokrasi di Indonesi belum mampu mentranformasikan struktur perkebunan karena masih di topang oleh kolonialisme, tandasnya.

Lanjut dia, di saat tepat 100 abad perkebunan justru kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur. Dia mencontohkan kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap di mana petani di larang mengelola kebun seperti model PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dan kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20 % untuk rakyat dan perusahaan 80 %.

Perkebunan sawit di Indonesia sudah mapan, dan seharusnya pemerintah sudah mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri. Karena itu,” tandasnya lagi perlu dilakukan tranformasi struktur perkebunan sebagai solusi persoalan dalam perkebunan, dengan dimulai dari evaluasi ijin usaha perkebunan dan membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun.

Yuslim, sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi. yang juga sebagai petani sawit yang bermitra dengan PT. Tribakti Sari Mas di kabupaten Kuantan Singingi,  menjelaskan masih berlangsungnya konflik petani yang bermitra dengan PT. TBS. Bulan Juni lalu, ibu Yusniar mati ditembak polisi karena berjuang untuk memperoleh keadilan dari PT. TBS.

Hingga saat ini kebun yang tidak diberikan kepada petani sekitar 1.700 ha oleh PT. TBS. Masyarakat sejak beberapa hari lalu, telah melakukan pendudukan kebun inti. Namun PT. TBS belum merespon.
Selain itu pula tambahnya, PT. TBS membangun kebun plasma setengah hati padahal kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik. Hal lain yang di sorot oleh Yuslim juga adalah pemakaian aparat kepolisian yang berlebihan di PT. TBS jika perusahaan tersebut bermasalah dengan petani.

Pada tahun 2010, PT. MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT. Torganda di Kabupaten Rokan Hulu  juga mencaplok ladang-ladang masyarakat. Kedua perusahaan tersebut, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010 lalu,” (database kasus SPKS).
Forum Nasional SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. Yang dapat kita simpulkan, cara penjajahan masih dipraktekkan di masa saat ini, tandas Hariansyah.

Sebagaimana diketahui, sebanyak 20.117 ha kebun rakyat di Riau belum diremajakan karena terkait dengan penolakan petani kelapa sawit yang menentang pola manajemen satu atap dalam revitalisasi perkebunan.
Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman menambahkan konflik paling tinggi di Riau terjadi di dalam perkebunan, pada tahun 2010 sekitar 24 % dari total luasan kebun terjadi konflik. Hal ini diakibatkan oleh, masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu.
Pola manajemen satu atap di atur melalui, Permentan No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.

Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang di lakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan.(c8/rdi)


Read more: Sejarah Penguasaan Kebun Sawit di Indonesia 

Batasi Korporasi, Mandirikan Petani Sawit


Pemerintah seharusnya mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri. Yaitu, dengan melakukan transformasi struktur perkebunan yang dimulai dari evaluasi izin usaha perkebunan serta membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun.

“Meski perkebunan sawit di Indonesia sudah seabad, kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur,” papar Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto saat peringatan seabad perkebunan sawit di Pekanbaru, Riau, seperti dikutip siaran pers Walhi, Rabu (30/3).

Seorang petani kelapa sawit di Riau, Yuslim, dalam siaran pers sama menguraikan kondisi yang dia alami. Dia menjelaskan, masih berlangsung konflik petani yang bermitra dengan pemilik lahan, PT TBS. “Juni tahun lalu, ibu Yusniar tewas tertembak polisi karena berjuang agar mendapat lahan yang seharusnya dia miliki,” tuturnya.

Yuslim menerangkan lahan kelapa sawit TBS dikelola dengan sistem plasma-inti. Dia mencatat, hingga kini, kebun yang tidak diberikan kepada petani sekira 1.700 hektare (ha) oleh TBS.

Yuslim memaparkan, masyarakat menduduki kebun inti. Namun, TBS belum merespon. Konflik disebabkan akibat TBS membangun kebun plasma setengah hati. Padahal, kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik.

Dia menyayangkan, dalam setiap konflik, TBS selalu melibatkan aparat Kepolisian. Tindakan aparat kepolisian dinilai berlebihan. “Apalagi kalau TBS bermasalah dengan petani,” tandasnya.

SPKS mencatat, contoh kasus lain seperti TBS dilakukan juga oleh PT MAI dan PT Torganda di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Kedua perusahaan itu mencaplok ladang-ladang masyarakat. Selanjutnya, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010.

Hariansyah Usman, Direktur Walhi Riau menguraikan, konflik paling tinggi di Riau terjadi di perkebunan. Tahun 2010, sekitar 24 persen dari total luasan kebun terjadi konflik.

Luasan konflik disebabkan masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. “Cara penjajahan masih dipraktikkan pada masa saat ini,” tandas Hariansyah.

Menurut catatan SPKS, sebanyak 20.117 ha kebun rakyat di Riau belum diremajakan. Keadaan itu terjadi karena banyak penolakan petani kelapa sawit yang menentang pola manajemen satu atap dalam revitalisasi perkebunan. Pola manajemen satu atap di atur melalui, Permentan No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.

Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang dilakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan.

Luas perkebunan kelapa sawit di Riau seluas 2,8 juta dan sekitar 50,51 persen dikelola oleh 356.000 Kepala Keluarga (KK). Sisanya dikuasai beberapa perusahaan perkebunan dan sekira 50 persen dari luas perkebunan swasta dikuasai oleh Malaysia.

Selain itu, menurut temuan Walhi, ekspansi kebun sawit di hutan gambut berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau. Setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api dalam areal konsesi perusahaan kebun. “Kala momentum satu abad ini, pemerintah Riau melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar,” tutur Hariansyah.

Walhi mencatat, kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada era 1870-an.

Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008).

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Hal itu dirintis di Hindia Belanda oleh Adrien Hallet, seorang Belgia. Jejak itu diikuti K Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh.

Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.