Kamis, 31 Maret 2011

100 Tahun Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, Mewariskan Sistem Perbudakan, Kerusakan Lingkungan dan Konflik Agraria


Pekanbaru - Pada Maret  2011, sudah 100 tahun perkebunan kelapa sawit hadir di Indonesia. Sekelompok masyarakat sipil yang selama ini konsen dengan isu-isu atas dampak perkebunan menyelenggarakan konferensi pers bersama. Organisasi itu antara lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Hadir di antaranya adalah direktur eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman, Ketua Forum Nasional SPKS, Mansuetus Darto dan Yuslim sekjen SPKS Kabupaten   Kuantan Singingi yang juga sebagai petani sawit.
Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman menegaskan bahwa provinsi Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit. Dengan luas lahan lebih kurang  2, 8 juta ha yang ada di Riau, Faktanya 35% saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan. Ekspansi kebun sawit dihutan gambut jelas sangat berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau.
Pada setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api didalam areal konsesi perusahaan kebun. Untuk itu penting momentum satu abad ini pemerintah Riau melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar .
Dalam sejarahnya, Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008).
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.
Mansuetus darto, kordinator forum Nasional SPKS mengatakan,  tidak ada capaian berarti dari 100 tahun kelapa sawit. Hal ini dapat kita lihat, begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan 100 tahun lalu. Dulu dikuasai Belanda sekarang berpindah ke tangan konglomerat,’ transisi demokrasi di Indonesi belum mampu mentranformasikan struktur perkebunan karena masih di topang oleh kolonialisme, tandasnya.
Lanjut dia, di saat tepat 100 abad perkebunan justru kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur. Dia mencontohkan kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap di mana petani di larang mengelola kebun seperti model PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dan kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20 % untuk rakyat dan perusahaan 80 %.
Perkebunan sawit di Indonesia sudah mapan, dan seharusnya pemerintah sudah mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri. Karena itu,” tandasnya lagi perlu dilakukan tranformasi struktur perkebunan sebagai solusi persoalan dalam perkebunan, dengan dimulai dari evaluasi ijin usaha perkebunan dan membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun.
Hal senada di sampaikan oleh petani sawit yang bermitra dengan PT. Tribakti Sari Mas di kabupaten Kuantan Singingi Yuslim yang juga sebagai sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi. Dia menjelaskan, masih berlangsungnya konflik petani yang bermitra dengan PT. TBS. Bulan Juni lalu, ibu Yusniar mati ditembak polisi karena berjuang untuk memperoleh keadilan dari PT. TBS.
Lanjut dia, hingga saat ini kebun yang tidak diberikan kepada petani sekitar 1.700 ha oleh PT. TBS. Masyarakat sejak beberapa hari lalu, telah melakukan pendudukan kebun inti. Namun PT. TBS belum merespon. Selain itu pula tambahnya, PT. TBS membangun kebun plasma setengah hati padahal kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik. Hal lain yang di sorot oleh Yuslim juga adalah pemakaian aparat kepolisian yang berlebihan di PT. TBS jika perusahaan tersebut bermasalah dengan petani.
Hal yang lain juga terjadi di PT. MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT. Torganda di Kabupaten Rokan Hulu yang mencaplok ladang-ladang masyarakat. Kedua perusahaan tersebut, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010 lalu,” (database kasus SPKS).
Hariansyah Usman menambahkan konflik paling tinggi di Riau terjadi di dalam perkebunan, pada tahun 2010 sekitar 24 % dari total luasan kebun terjadi konflik. Hal ini diakibatkan oleh, masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. Forum Nasional SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. Yang dapat kita simpulkan, cara penjajahan masih dipraktekkan di masa saat ini, tandas Hariansyah.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 20.117 ha kebun rakyat di Riau belum diremajakan karena terkait dengan penolakan petani kelapa sawit yang menentang pola manajemen satu atap dalam revitalisasi perkebunan. Pola manajemen satu atap di atur melalui, Permentan No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.
Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang di lakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan.
Luas perkebunan kelapa sawit di riau seluas 2, 8 juta dan sekitar 50,51 % di kelola oleh 356.000 KK. Sisanya di kuasai oleh beberapa perusahaan perkebunan dan hamper 50% dari luas perkebunan swasta di kuasai oleh Negara Malaysia.
WALHI Riau dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
Kontak Person :
WALHI : Hariansyah Usman, 0812 766 999 67
SPKS : Mansuetus darto, 0812 8000 3734

Rabu, 30 Maret 2011

KRISIS LINGKUNGAN HIDUP RIAU Riau di ambang kepunahan peradaban, itu kata yang tepat untuk menggambarkan krisis LH di Riau secara utuh dan jernih. Dam

Riau di ambang kepunahan peradaban, itu kata yang tepat untuk menggambarkan krisis LH di Riau secara utuh dan jernih. Dampak pemanasan global telah terasa di Riau dengan di umumkannya kenaikan suhu rata-rata di riau di tahun 2008 adalah 1,2 drajad celcius oleh badan metorologi dan geofisika. Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Indragiri dan Sungai Siak serta 1 selat besar yaitu selat Malaka telah banyak tercemar oleh limbah pabrik kelapa sawit, pabrik pulp and paper dan limbah industri rumah tangga. Namaun secara tegas dan sangat serius persoalan di Riau justru pada ranah penegakkan hukum lingkungan yang mengalamoi kemunduran, dengan telah di SP3-kannya kasus kasus pengrusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging oleh pihak kepolisian, ini menunjukkan keberpihakkan aparat penegak hukum di Riau pada pemodal ( agen kapitalisme global ). Di tambah dengan catatan pelanggaran HAM oleh Polda Riau, dengan menyerang Dusun Suluk Bongkal, Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis, Riau. Lengkap sudah catatan kesengsaraan rakyat riau akibat ulah kapitalisme merambah dan menjarah seluruh sendi hidup dan kehidupan masyarakat marjinal. Tahun 2008 adalah Tahun dengan tegas aparat kepolisian RI berpihak pada pengusaha dan penguasa yang korup di negeri ini. WALHI Riau menorehkan sejarah pada tahun 2007 bersama Brigjend Sutjiptadi sebagai Kapolda Riau pada waktu itu memerangi permbahan dan pembabatan hutan demi terselamatkannya Lingkungan Hidup di Riau dan Pengelolaan LH di Riau yang adil dan lestari, namun apa lacur, setelah Brigjend Sutjiptadi di ganti oleh Brigjend Hadiatmoko, langsung memasang badan utk menghentikan semua proses hukum terkait pengrusakan LH yang melanggar UU 23 / 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pelanggaran UU 41 / 1999 tentang Kehutanan. Berikut catatan yang dapat kami sampaikan:




KEHUTANAN
Berdasarkan data dari sumber Dinas Kehutanan Riau dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan Riau, menunjukan bahwa, kawasan hutan yang ada di Sumatera Selatan terdapat 1.9 jt hektar habis luluh lantak dengan tingkat kerusakan 80.000 ha per tahun, sekarang hanya tersisa 1, 5 jt hektar saja. Dari luasan Hutan tersebut terdiri dari; Hutan Lindung memiliki luas 300.000 hektar, Hutan Konservasi 1,7 jt hektar dan Hutan Produksi 2.jt hektar. 
Tingginya tingkat degradasi hutan di Riaul terjadi diakibatkan oleh berbagai usaha-usaha haram (pembalakan liar), usaha yang berselubungkan pada legalitas hukum, seperti konversi lahan menjadi HTI dan perkebunan kelapa sawit, dan kebakaran hutan.

Dalam catatan WALHI Riau telah ada vonis di pengadilan TIPIKOR untuk Bupati Pelelawan Tengku Azmun Jaafar sebanyak 12 tahun penjara karena terbukti mendapat gratifikasi dari 15 perusahaan yang beroperasi di sekitar Kabupaten Pelelawan, yaitu anak perusahaan PT IKPP dan PT RAPP . Kabupaten Pelelawan merupakan wilayah yang paling banyak ditemukan masalah dalam praktek illegal loging dan leggal logging dengan dalih izin IUPHHK HT. 

Beberapa kawasan hutan konservasi dan hutan lindung pada wilayah kabupaten tersebut terus mengalami penyusutan akibat kegiatan-kegiatan legal dan illegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HTI, Perkebunan Sawit, serta pembalakan liar (illegal logger).

Khususnya pada kawasan Hutan Suaka Marga Satwa Kerumutan, Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim, Hutan Lindung Mahato, Hutan Lindung Bukit Batabuh, Hutan Lindung Bukit Suligi, Hutan Lindung Bukit Rimbang Baling dan beberapa cagar alam lainnya habis luluh lantak oleh prilaku serakah dan korup di Riau. 
Pada seluruh kawasan Hutan Lindung tersebut Walhi Riau menemukan kerusakan Hutan alam di Riau mencapai 180.000 Hektar per tahunnya Sungai Sungai di riau menjadi dangkal akibat erosi tanah dan abrasi bibi sungai, sehingga kalau hujan, sungai langsung meluap. 
Sedangkan Temuan pihak Polda Riau 2007, bahwa kerugian negara akibat illegal logging di kawasan hutan mencapai 24 trilyun rupiah. Walhi Riau menyebutkan 789 Milyard kerugian akibat Banjir Bandang di 8 Kabupaten dan Kota di Riau ini. 
PERKEBUNAN (Kelapa Sawit)

Luas usaha perkebunan Sawit di Riau adalah 2,1 jt Hektar. Persoalan yang kerap muncul dalam sub sektor perkebunan, yaitu kelapa sawit adalah sebagian besar 68 % perkebunan sawit baik swasta, pemerintah maupun kebun swadaya adalah dilakukan dengan cara membuka kawasan Hutan Alam. Di tambah lagi ambisi PEMDA sejak Otonomi Daerah di laksanakan adalah investasi dengan paradigma pembukaan kawasan hutan. Konflik tenurial di Riau juga semakin meningkat, telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan, Hak atas tanah ulayat tak di akui pemerintah dan lain-lain.
KONFLIK LAHAN
Dari deretan kasus tanah yang muncul pada tahun 2008, ada 123 kasus yang terjadi merupakan konflik yang diakibatkan oleh usaha perkebunan kelapa sawit. Konflik tersebut biasanya lahir, dikarenakan pemerintah tidak pernah mensosialisasikan kepada masyarakat setempat bahwa tanah mereka akan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Hal itu diperparah, karena kebanyakan perusahaan kelapa sawit tidak pernah mengindahkan aturan main yang telah ditetapkan, misalnya memberikan ganti-rugi ataupun mengin-inclave tanah rakyat yang menolak lahannya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Di lapangan, banyak pula perusahaan kelapa sawit memperluas usahanya melebihi dari tata batas perizinan yang telah ditetapkan. Di Riau penambahan kasus setiap tahunnya adalah 23 persen, atau 25 kasus konflik lahan per tahunnya.

Konflik lahan yang merupakan bagian dari persoalan sosial bangsa yang merupakan warisan masalah pemerintahan masa lalu (orde baru), terus saja terjadi di Riau. Pemerintah daerah termasuk lembaga yang selalu beternak konflik ini, memelihara konflik ini agar tetap terus terjadi sehingga konflik ini menjadi lahan korupsi baru dengan modus operandi peningkatan APBD riau dalam menyelesaikan konflik agragia sebesar 9 Milyard per tahun. 
Dikeluarkanya berbagai izin-izin baru, khususnya yang diperuntukkan bagi usaha perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri, yang berada di dalam lahan kehidupan rakyat telah memperluas konflik-konflik pertanahan di Riau. 
PENCEMARAN
Kasus pencemaran merupakan salah satu persoalan lingkungan yang kerap terjadi di Riau, karena ada 160 buah pabrik kelapa sawit, 2 buah pabrik pulp and paper, 8 buah perusahaan MIGAS Sumsel. Beberapa kasus pencemaran yang muncul di tahun 2008, lebih banyak dilakukan oleh berbagai aktifitas perusahaan dan industri seperti Migas dan Crude Palm Oil (pengolahan minyak sawit). Setidaknya pada tahun ini, dalam catatan WALHI telah terjadi 11 kali pencemaran, yang diantaranya diakibatkan oleh kebocoran pipa dan tumpahan minyak (7 kali) dan pencemaran limbah pabrik kelapa sawit (4 kali).

Tumpahan minyak dan kebocoran pipa paling banyak terjadi pada PT. Pertamina. Beberapa kejadian tersebut selain berdampak kepada tercemarnya air sungai (sungai Rebo di Banyuasin I, dan sungai Kelekar di Prabumulih Barat) juga banyak merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. Selain PT. Pertamina, tercatat PT. Elnusa Oilfield Services (PT. EOS) juga pernah mengalami kebocoran pipa. Kejadian yang terjadi di Kelurahan Betung Kabupaten Banyuasin tersebut menyebabkan air-air sumur warga rusak dan tercemarnya sungai Sedompok sehingga menyebabkan ratusan ikan mati.

Demikian pula pencemaran yang terjadi oleh limbah kelapa sawit. Beberapa kali usaha PT. Ciptu Futera (Cifu) telah mencemari sungai Lagan dan Nau. Atas peristiwa yang telah menyebabkan bau busuk dan matinya ikan di kedua sungai itu, masyarakat Desa Ulak Bandung Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Muara Enim telah melaporkan peristiwa tersebut kepada Pemkab Muara Enim. Hal yang serupa juga dialami oleh masyarakat di Pangkalan Benteng Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Pencemaran yang dilakukan oleh limbah pabrik juga telah merusak air sungai yang kerap digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, minum, dan memasak. 

PENUTUP

Kiranya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di tahun ini, tidaklah juga mencerminkan adanya perbaikan dan pembenahan dari periode tahun-tahun sebelumnya. Berbagai gambaran persoalan di atas merupakan realitas, bahwa politik ekologi belumlah diletakkan sebagai asfek dasar bagi kebijakan pembangunan di Sumsel.

Adalah tidak keliru misalkan Pemerintah saat ini telah memasukkan program penanggulangan bencana di dalam politik anggarannya (Pemerintah Provinsi sebesar 8 milyar, dan Pemerintah Kota Palembang sebesar 1 milyar). Bahwa tidak salah pula jika di Sumsel saat ini pemerintah menggalakan program ”pananaman” ratusan ribu pohon. Namun jika program tersebut tidak diimbangi dengan perubahan sistem kebijakan lingkungan yang selama ini dianut, maka persoalan-persoalan ekologi dan kemanusiaan akan terus berlangsung di daerah ini.


Eksekutif Daerah 
Wahana Lingkungan Riau

Digelar, Kongres Jaringan Masyarakat Gambut Riau di Pekanbaru

sebuah kongres digelar di Pekanbaru. Diikuti masyarakat dari 32 desa terluar di Riau untuk membahas pengelolaan kawasan gambut secara berkelanjutan.

Riauterkini-PEKANBARU- Perwakilan komunitas masyarakat dari 32 desa yang berasal dari 4 Kabupaten di Riau akan berkumpul untuk mengikuti Konggres Jaringan Masyarakat gambut Riau pada 29 – 30 Maret ini di Pekanbaru. Pada pertemuan ini akan dibahas tentang strategi Pengelolaan Gambut yang lebih berkelanjutan, berkeadilan dan mensejahterakan . Masyarakat yang akan hadir antara lain utusan dari Kabupaten Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu dan juga akan diikuti oleh masyarakat dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai kabupaten termuda yang terdiri dari gugusan pulau-pulau terdepan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura.

Peserta yang memastikan akan hadir adalah Wan Syafri, salah satu utusan dari Pulau Rangsang, kehadirannya tidak lain adalah ingin membagi pengalaman kepada banyak orang tentang apa yang terjadi saat ini diwilayah mereka . Disampaikannya “ saat ini hutan kami sedang di hancurkan, gambut kami sedang dikeruk dan dijadikan kanal-kanal oleh PT. Sumatera Riang Lestari (PT.SRL), padahal disana ada Tasik Air Putih sebagai sumber utama air tawar bagi kami yang akan terancam kering akibat operasi perusahaan HTI tersebut , belum lagi ancaman abrasi pantai yang setiap tahun mencapai 10-20 meter ”, akankah Pulau Rangsang tenggelam ungkapnya.

Pulau Rangsang yang seratus persen wilayahnya merupakan kawasan gambut ini harusnya penting untuk diberikan perhatian khusus karena akan berdampak terhadap batas kedaulatan maupun terhadap nama baik Negara Indonesia.

Pembukaan hutan di kawasan gambut memang sedang marak terjadi saat ini di Riau. Beberapa izin dikeluarkan bagi perusahaan HTI akasia seperti PT. RAPP yang mendapatkan izin di kawasan Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, PT. Sumatera Riang Lestari di kawasan kerumutan, Pulau Rangsang dan Pulau Rupat kemudian PT. Lestari Unggul Makmur (LUM) di Kawasan Pulau Tebing Tinggi. Belum lagi laju ekspansi perkebunan kelapa sawit yang terus terjadi di kawasan-kawasan gambut yang sangat rentan akan kerusakan ditambah lagi kawasan tersebut juga merupakan wilayah kebun-kebun masyarakat, sehingga konflik tanah antara masyarakat dan perusahan terus terjadi dan grafiknya terus meningkat.

Riau adalah sebuah provinsi yang memiliki kawasan gambut yang terluas di Pulau Sumatera. Dari total 7,2 juta ha gambut sumatera lebih kurang 4 juta ha atau 56,01 % berada di Riau. Hariansyah Usman, Direktur WALHI Riau menyampaikan “ Luasnya hutan gambut Riau dengan keanekaragaman hayati didalamnya, harusnya dapat memberikan kontribusi bagi keselamatan lingkungan hidup serta membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tapi apa yang terjadi saat ini , hampir 56% kondisi kawasan hutan gambut Riau mengalami kerusakan sehingga berkontribusi terhadap terjadinya bencana ekologis seperti banjir, asap serta pemiskinan rakyat Riau. hal ini menunjukan bahwa pemerintah dalam menjalankan pembangunan sampai saat ini sama sekali belum berpihak kepada masyarakat dan lingkungan, dan ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanat UUD 1945 Pasal 33, kata Hariansyah Usman yang juga merupakan SC pada acara ini.

Susanto Kurniawan, koordinator Jikalahari yang juga anggota SC menambahkan kegiatan ini diselenggarakan oleh Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Jikalahari, WALHI Riau, Scale Up, Mitra Insani, Greenpeace, Elang, Kaliptra Sumatera dan Kabut Riau. Diharapkan dari Konggres ini akan memunculkan gagasan-gagasan alternative yang dapat di implementasikan berkaitan dengan eksistensi dan dinamika masyarakat yang hidup di kawasan lahan gambut di Riau. Acara yang ditaja selama 2 hari ini juga dihadiri oleh perwakilan masyarakat pengelola gambut yang ada di Kalimantan dan Sumatera Selatan, harapannya kita semua dapat berbagi cerita dan pengalaman, demikian ungkap susanto kurniawan

Selasa, 29 Maret 2011

Profil WALHI Riau



Hariansyah Usman
Direktur Eksekutif WALHI Riau 
Alamat Kantor :
JL. Katio no.3 Tangkerang Tengah , Pekanbaru- Riau
Tlpn. 0761- 25646  -  Kode Pos: 28282
Kontak Person : Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif
HP. 0812 766 999 67,
 Email. Wongkaka99@gmail.com



Organisasi Anggota WALHI Riau (10) 


LBH Pekanbaru
Jl. Utama/ nenas gg. Tanjung no 21 Sukajadi
Telp: 0761-46676

Yayasan Elang
CP: riko kurniawan
jl. Alimin no 08 sukajadi
Telp: 0761-42909

KBH Riau
CP: ali husin nasution
jl. KH. Ahmd dahlan no 101 B lt. II sukajadi
Telp: 0761-7049446

Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup (LALH)

CP: indra jaya SH
jl. KH. Ahmad dahlan no 101 B lt. II (depan UIN SUSKA)
Telp: 0761-7049446

Lembaga Kajian Hukum dan Demokrasi (LKDH)

CP: alisyahbana ritonga
jl. Dahalia no 89 E (depan SMP 3) Pekanbaru
Telp: 08127535540

Kelompok Advokasi Riau (KAR)
CP: bambang aswandi
jl. Gabus no 39 tengkerang barat
Telp: 08136803467

Kaliptra Sumatera
CP: irsyadul halim
jl. Pembangunan III no 1 B
Telp: 081371074025

Yayasan Sialang
CP: suhelmi
jl. Raya pematang reba belilas rengat
Telp: 0769-341123

Alam Indonesia Riau
CP: darwis
jl. Sultan syarif kasim no 11
Telp: 0765-31947

Lembaga Advokasi Bantuan Hukum ( LABH )
CP:


Sejarah WALHI Riau
WALHI Riau kembali berdiri pada Februari 2003, atas prakarsa 8 Organisasi non-pemerintah (Ornop) yang bergerak dalam bidang advokasi lingkungan hidup. Sebelumnya, WALHI Riau merupakan bagian dari Forum Sumatera di Riau kala itu, dan hanya dibentuk oleh Kelompok Kerja Daerah (KKD) untuk menangani persoalan-persoalan lingkungan hidup.


Berdasarkan hasil Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) II WALHI Riau pada tanggal 22-23 Januari 2006 lalu, maka WALHI Riau bervisi:


Terwujudnya kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan yang dikelola secara adil dan lestari dengan mensinergiskan berbagai elemen yang ada di Riau.


Adapun Misi WALHI Riau, adalah:


membangun organisasi yang akuntabel, kreatif, popular, professional yang didukung strategi dan infrastruktur yang kuat, mandiri dan berbasis massa yang sadar dan aktif.
menjadikan WALHI Riau sebagai pusat informasi dan data lingkungan hidup di Riau
membangun citra gerakan Walhi Riau yang didukung publik, organisasi kader serta
mempelopori gerakan lingkungan hidup yang massif
mendesakkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan yang adil dan berkelanjutan di Riau
membangun organisasi rakyat yang kritis, sadar, aktif dan mandiri.
Sebagai wahana bersama Organisasi Non Pemerintah (Ornop), WALHI Riau senantiasa berupaya mendorong semua pihak untuk mendasarkan orientasi gerakannya pada nilai-nilai : demokrasi, keadilan antar generasi, keadilan gender, kesetaraan spesies, persamaan hak masyarakat adat, solidaritas, anti kekerasan, etika kerja non partisan, keterbukaan, keswadayaan dan profesionalisme.


WALHI Riau juga akan terus berusaha memainkan peran optimal mendorong transformasi sosial bagi pemantapan upaya pengelolaan SDA dan pemanfaatan secara lestari sumber-sumber kehidupan serta perlindungan hak-hak asasi manusia dalam suatu tatanan kehidupan yang berkeadilan, demokratis dan lestari.


Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, maka saat ini WALHI Riau telah menyusun berbagai perencanaan kegiatan yang dibagi dalam perencanaan tiap tahunnya, yang telah disusun bersama dalam rapat anggota dan tertuang dalam Kerangka Logis Program (KLOP).


Keorganisasian
Kepengurusan dalam Organisasi WALHI Riau terdiri dari Badan Legislatif dan Badan Eksekutif. Adapun komposisinya adalah sebagai berikut:


Badan Legislatif
Badan ini lazim disebut, di lingkungan WALHI, dengan sebutan Dewan Daerah (DD). Badan ini berfungsi melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan program di tingkat Eksekutif Daerah serta kebijakan bagi pengembangan kelembagaan dan program advokasi WALHI.


program pengembangan hutan tanaman di Provinsi Riau

program pengembangan hutan tanaman

Senin, 28 Maret 2011

Avenged Sevenfold - "Almost Easy" (Live from Warped Tour 2007)

laporan perjalanan di sungai tohor

Saya bersama Direktur Kaliptra ( Irsyadul Halim ) Berangkat dari selat panjang naik Batam Jet menuju Desa Sungai Tohor tepat pukul 07.00 WIB dan tiba pukul 09.20 WIB, setibanya di Desa Sungai Tohor kami istirahat di Rumah Pak Manan ( penduduk Desa Sungai Tohor ), kami hanya istirahat sebentar yaitu lebih kurang setengah jam kemudian dilanjutkan melihat lokasi kantor kepala desa dan melihat peta desa sungai tohor dan data kependudukan.
gambar 1. Peta Desa Sungai  Tohor

Data dari kantor kepala desa menunjukkan Jumlah penduduk di Sungai Tohor sekitar 2048 Jiwa, Kemudian dilanjutkan perjalanan menuju ke perkebunan sagu masyarakat dan melihat kanal yang di gali oleh PT. LUM di dekat perkebunan masyarakat. Jalan menuju keperkebunan masyarakat masih buruk dan perkebunan dekat masyarakat banyak dijumpai monyet di sepanjang pinggir jalan. Dan paret di pinggir jalan perkebunan di bendung oleh masyarkat dengan kayu dan trepal. Bendungan dimaksudkan agar tidak terjadi kekeringan untuk mencegah terjadinya subsidence tanah gambut.
gambar 2. kanal yang di gali oleh PT. LUM
Kalau terjadi kekeringan pada kanal ini di kwatirkan terjadi subsidence tanah gambut, dan ini bisa mempengaruhi pertumbuhan tanaman sagu di kebun masyarakat. Saya berangkat ke kebun masyarakat bersama pak manan dan pak halim, sesampainya di tempat galian kanal kami menemukan masyarakat yang berusaha membuat parit-parit kecil untuk mengalirkan air dari kanal. Di lokasi kanal tersebut saya hanya sebatas memotret kanal dan setelah itu pulang kembali dan melihat anakan sagu yang akan dijadikan bibit oleh masyakat. Sagu di di perkebunan banyak yang berjenis rumbio berduri, dan budidaya Sagu di Sungai Tohor belum dilaksanakan secara intensif dan masih bersifat tradisional.

Setelah melihat anakan sagu kami istirahat di rumah pak manan, dan sore harinya saya melihat kilang milik pak manan dan limbah sagu yang tidak termanfaatkan, kemudian dilanjutkan menyampaikan undangan ke kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat untuk menghadiri pertemuan membicarakan seputar JMGR dan juga program yang akan dijalankan serta keinginan masyarakat.




limbah sagu basah di kilang sungai tohor

bibit yang digunakan masyarakat untuk di budidayakan




Direktur Walhi ( baju hijau ) bersama dengan temen-temen dari BEM UNRI sedang melakukan survei hutan adat di kampar, survei ini di persiapkan untuk kegiatan konferensi  nasional lingkungan hidup yang akan di hadiri oleh BEM SI, dan yang lagi merokok itu adalah Menteri Lingkungan di BEM UNRI, dan yang lainnya adalah masyarakat setempat dan tokoh adat, suvei ini pada hari minggu tanggal 13 Maret 2011. dalam perjalanan, saya menemukan buah nasi, waktu di makan rasanya seperti apa saya lupa,, tapi langsung saya makan aja dijalan,, hahahhahahah,,

inilah dia hutan adalah jantung bumi
inilah hutan adat tersebut, hutan ini tetap terjaga dan hasil kayu hutan tersebut dipakai untuk bersama misalkan untuk membangun mesjid, jembatan, dll. untuk kepentingan umum, masyarakat setempat peduli menjaga hutan mereka dan air nya pun segar, saya langsung meminum air yang mengalir dari hutan yang udah disaring secara alami, gak perlu pake masak lagi,, hohoho
saye minum air yang mengalir dari hutan atas sane