Senin, 27 Juni 2011

Walhi: Gubernur Tak Layak Dapat Penghargaan UNESCO



Metrotvnews.com, Pekanbaru: Gubernur Riau Rusli Zainal dianggap tak layak mendapat penghargaan lingkungan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Dunia (UNESCO). Sebab, Rusli Zainal tersandung kasus pembalakan liar di Riau. Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Wahanan Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Hariansyah Usman, di Pekanbaru, Selasa (11/5).

Menurut Hariansyah, UNESCO seharusnya mempertimbangkan kasus pembalakkan liar yang melibatkan Gubernur Rusli. Pasalnya, kasus ini tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi dan Satuan Tugas Antimafia Hukum.

Rencananya, Gubernur Riau akan menerima penghargaan itu pada 1 Juni di Paris, Perancis. Menurut Walhi, Gubernur Riau gagal menghentikan praktik penebangan liar di sejumlah daerah di provinsi itu. Riau merupakan provinsi dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di Indonesia, yakni 160 ribu hektare per tahun.(***)

sumber : http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2010/05/11/105121/Walhi-Gubernur-Tak-Layak-Dapat-Penghargaan-UNESCO/82

Senin, 20 Juni 2011

Walhi Riau: PT RBH Diduga Belum Punya Izin Pakai Kawasan Hutan


Pekanbaru - PT RBH, perusahaan tambang batubara di Riau, diduga belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Disamping itu perusahaan tambang ini juga dinilai telah merusak lingkungan.Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Hariansyah Usman mengatakan, perusahaan ini memiliki luas konsesi 24.450 hektar di Kabupatan Indragiri Hulu (Inhu) Riau.
"Namun belakangan diduga, perusahaan ini belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Tapi anehnya perusahaan ini sudah beroperasi sejak lama," kata Kaka dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (20/6/2011) di Pekanbaru.
Idealnya, perusahaan ini baru bisa beroperasi bila sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Walhi menilai, ada kejanggalan dalam operasi perusahaan BRH tersebut. "Beroperasi tanpa ada izin dari Menhut, tentulah bagian tindak pidana lingkungan. Ini harus diusut," tegas Kaka.
Di samping itu, data Walhi menyebutkan, keberadaan tambang batu bara PT BRH ini, juga mencemari lingkungan. Dua aliran sungai yakni sungai Batang Gangsal dan sungai Batang Cinako kini tercemar setiap turun hujan.
"Kalau lagi hujan deras, maka air sungai akan berubah warna yang keruh. Ini akibat komponen bekas galian tambang batu baru terbawa air deras saat hujan yang mengalir ke sungai," kata Kaka.Pihak Walhi bersama masyarakat setempat, juga pernah menemukan sejumlah ikan mati akibat limbah perusahaan tambang batu bara tersebut. Untuk di kawasan sungai Batang Gangsal, di daerah aliran sungai (DAS) terdapat 5 desa sedangkan sungai Batang Cinako terdapat dua desa.
"Masyarakat yang bergantung hidup di pinggir sungai ini merasa resah akibat limbah dari penambangan batu bara. Mestinya pemerintah segera meninjau ulang soal operasional perusahaan tersebut," kata Kaka

Sabtu, 18 Juni 2011

Hari Lingkungan Hidup: Menjelang Musnahnya Hutan Riau 2025



Pekanbaru|Gurindam12. Tatakelola sektor kehutanan di Indonesia khususnya Propinsi Riau mengalami kesalahan yang fatal. Betapa tidak, tahun 1990an sampai – 2011 Riau khususnya mendapat banyak protes khususnya dari negri Jiran. Ini adalah bentuk palingnyata dimata kita.Dalam memperingati hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 juni 2011 ini Himpunan Mahaiswa Pendidikan Biologi Universitas Islam Riau menggelar sebuah seminar dengan judul Save of Riau Forest “Menjelang Musnahnya Hutan Riau 2025”. Dalam seminar ini dihadiri oleh tiga narasumber, yaitu Ridwan Kamal dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Hariansyah Usman dari Wahana Lingkungan Hidup Daerah Riau serta Muslim dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau.

Seminar yang dibuka pada pukul 09.00 WIB tersebut dihadiri oleh banyak mahasiswa, tidak saja pada jurusan Biologi, tetapi juga dari jurusan-jurusan lain, seperti jurusan Bahasa Inggris, Sastra Jepang dan yang lainnya. Ruangan aula sangat padat, semua kursi terisi bahkan ada yang harus rela berdiri. Begitulah antusias mahasiswa dalam seminar tersebut. Ini merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya banyak kepedulian mahasiswa dalam melihat realita rusaknya alam Riau.

“Kewenangan saat ini semua ada di Pemerintah Pusat, daerah ada lagi kewenangan soal perijinan” tutur Ridwan Kamal saat memberikan materi pada acara tersebut. Ridwan juga menambahkan atas kesepakatan ide mengenai pembuatan surat atau petisi yang diusulkan oleh Hariansyah Usman agar Riau ini tidak luluh lantak. Dalam hal kehutanan Dinas Kehutanan Propinsi Riau tidak banyak mempunyai kewenangan. Namun demikian, harapan masyarakat Dinas Kehutanan tidak hanya diam. 

“Disamping Riau yang kaya akan Sumber Daya Alamnya, Riau juga mempunyai banyak persoalan. Khususnya pada sektor kehutanan. Bahkan untuk kawasan kehutanan sangat sedikit sekali” tutur Hariansyah usman dalam acara tersebut. Bahkan menurut Hariansyah Usman, keluarnya Inpres tentang Moratorium yang baru saja di keluarkan Oleh presiden yaitu pada tahun 2011 tidak efektif. Bahkan untuk daerah penerapan itu pada tahun 2012.

Hal sedana juga ditambahkan oleh Muslim selaku koordinator Jikalahari. Inpres mengenai moratorium disektor kehutanan yang dalam hal ini Inpres Moratorium ini adalah mengenai ijin. Sementara Riau sudah tidak ada lagi kawasan untuk itu. Artinya Inpres ini memang tidak akan bermanfaat apa-apa. Moratorium ini juga masyarakat jangan mendengar, karena ini konteknya bukan mengenai penebangan melainkan perijinan. Dalam dua tahun ini penghancuran itu masih akan terus terjadi , jadi yang harus dilakukan saat ini adalah moratorium konversi hutan dan lahan. Dan Riau tanpa moratoriumpun akan selamat, karena memang kawasan yang tersisa adalah kawasan yang dilindungi. Ungkapnya tegas. [dik]


sumber ; http://www.gurindam12.com/2011/06/hari-lingkungan-hidup-menjelang.html

Jumat, 17 Juni 2011

Advokasi Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Kerangka RSPO


Pekanbaru |Gurindam12. Training of Trainers (ToT) Memahami Roundtable on Sustanaible Palm Oil (RSPO) dalam kerangka advokasi perkebunan kelapa sawit yang ditaja oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau pada Rabu-Kamis (8-9/6) di Hotel Pelangi Pekanbaru diikuti oleh para peserta yang berasal dari perwakilan organisasi WALHI Se-Sumatera.

Menurut Direktur WALHI Riau | Hariansyah Usman, Training ini dilakukan dengan alasan bahwa sampai saat ini perkebunan kelapa sawit terus melakukan ekspansi dan perluasan, hal ini tidak terlepas karena adanya permintaan pasar yang begitu besar. Akibat dari hal tersebut banyak sekali terjadi kasus-kasus mulai dari konflik sosial maupun perusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Disisi lain saat ini ada sebuah wadah atau forum RSPO yang merupakan gabungan dari para pelaku usaha baik itu produsen maupun konsumen, para pemerhati lingkungan, pemerintah dan masyarakat. RSPO diharapkan dapat melahirkan sebuah pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan dan lestari. Maka dari itu penting bagi para aktivis WALHI untuk dapat memahami sejauh mana RSPO ini bisa efektif dan bisa meminimalisir dan kalau dapat menghilangkan konflik-konflik yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit tersebut.

Harapan dari pelatihan ini semua peserta pelatihan akan mampu membawa materi dan pengetahuan ini untuk disebarluaskan baik dalam kalangan para pemerhati lingkungan (NGO) maupun untuk masyarakat yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayah sumatera ini, ucapnya! (Hsm)

sumber : http://www.gurindam12.com/2011/06/advokasi-perkebunan-kelapa-sawit-dalam.html


Selasa, 14 Juni 2011

PETI DI KUANSING MAKIN MARAK

03062011147.jpg
TELUK KUANTAN, HALUAN — Maraknya aksi penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) sampai saat ini belum bisa dihentikan. Padahal, aktivitas PETI ini jelas-jelas ilegal dan melanggar undang-undang lingkungan.
Aksi PETI saat ini tidak lagi berlangsung secara sembunyi. Bahkan saat  ini telah sampai ke tengah-tengah pemukiman masya­rakat. Selain mengeluarkan suara yang bising, aktivitas PETI ini juga akan merusak lingkungan. Masya­rakat juga dikhawatirkan akan terkena penyakit berbahaya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wila­yah Riau, Hariansyah Usman saat dihubungi Selasa (7/6) menilai, aktivitas PETI yang masih berlan­jut di Kuansing  dikarenakan lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan kurang tanggapnya pihak kepolisian.
"Pemerintah harus bertanggung jawab dan  secepatnya bertindak terhadap indikasi tambang liar di Kuansing karena telah melanggar UU Lingkungan. Pihak kepolisian juga tidak harus menunggu laporan dari masyarakat atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat ulah PETI. Masyarakat di daerah memakai sumber air untuk kehidupan sehari-hari. Kalau tercemar akibat aktivitas PETI, siapa yang harus bertanggung jawab?" tanya Hariansyah Usman.
Menurutnya, aktivitas PETI ini akan menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan di Kuansing. Sumber air yang ada di Sungai Kuantan dan sungai lainnya akan tercemar dan tidak bisa dipakai masyarakat yang masih bergantung kepada sungai.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius. Pemerintah dan pihak kepolisian harus bertindak cepat sebelum aktivitas PETI bertambah banyak dan meng­ancam lingkungan yang ada di Kuansing. "Kalau kita perhatikan di daerah lain, biasanya modus para pelaku PETI ini memakai bahan kimia yang bisa mem­bahayakan masyarakat yang me­ma­kai sumber air sungai untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini perlu jadi perhatian yang serius," ujarnya.
Heriansyah Usman juga menye­rukan kepada masyarakat Kuan­sing agar melaporkan masalah ini ke pemerintah dan aparat berwe­nang. Menurutnya, masyarakat harus mendapatkan hak asasinya sebagai warga untuk mendapatkan kehidupan yang sehat. Masyarakat pu­nya hak dan hak tersebut di­lindungi undang-undang," ujar­nya.
Madi, salah seorang warga Desa Banjar Padang, Kecamatan Kuantan Mudik yang ditemui wartawan koran ini Minggu (5/6), mengaku banyak masyarakat yang resah akibat aktivitas PETI ini.
Selama dua tahun aktivitas PETI di hulu Sungai Kuantan, dan saat ini telah sampai ke ibukota kecamatan, tepatnya didua desa yakni desa Koto Lubuk Jambi dan Pulau Binjai dan desa lainnya yang ada di hulu Sungai Kuantan, selama itu pula air Sungai Kuantan tak pernah jernih lagi. Masyarakat terpaksa mandi di sungai yang keruh setiap harinya.
PETI juga mengakibatkan sejumlah pulau di Sungai Kuantan yang ada di Kecamatan Kuantan Mudik tidak akan bisa diman­faatkan warga lagi.
Masyarakat disekitar juga terganggu dengan suara bising yang muncul dari kapal dompeng. Masyarakat juga cemas dan kha­watir, air PAM yang mengalir ke rumah-rumah yang ada di pusat kota Lubuk Jambi, jangan-jangan telah tercemar. (h/tim)

Jumat, 10 Juni 2011

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan KPK Bungkam soal SP3 Kayu Ilegal


PEKANBARU--Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memilih bungkam dalam menanggapi SP3 kasus illegal logging 14 perusahaan di Riau.Padahal, pembahasan SP3 menjadi agenda prioritas dalam kegiatan satgas selama dua hari di Riau.

"Soal SP3 kasus illegal logging 14 perusahaan di Riau terlalu pagi untuk disampaikan. Kami perlu koordinasi dulu dengan semua pihak untuk menyampaikan itu," kata anggota Satgas PMH Mas Achmad Santosa menanggapi pertanyaan wartawan dalam seminar dan koordinasi strategi pencegahan dan pemberantasan mafia hukum dalam bidang kehutanan di Pekanbaru, Riau, Selasa (7/6).

Dalam agenda acara satgas PMH di Riau terdapat roundtable discussion SP3 kasus kehutanan di Riau. Kegiatan yang direncanakan pada pukul 14.30 WIB, Selasa (7/6), terkesan digelar secara sembunyi, karena lokasi yang akan disusulkan.

Begitu juga dengan peserta dibatasi 30 orang dari beberapa unsur lembaga KPK, PPATK, LSM, Kemen LH, Dishut Riau, Kapolda, dan Kejati Riau.

"Info terakhir diskusi SP3, satgas tak jadi mengikutsertakan LSM, karena diprotes polisi dan kejaksaan," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia  (Walhi) Riau Hariansyah Usman kepada Media Indonesia seusai seminar.

Dalam seminar pemberantasan mafia hukum itu, KPK yang diwakili Ade Raharja dan Kepolisian diwakili Alex Mandalika serta Kementerian Kehutanan diwakili Dirjen Hutan Darori dan PPATK M Yusuf tidak ada yang menyinggung soal SP3 kasus illegal logging Riau.Padahal kasus besar itu pernah dijanjikan Satgas untuk dibuka kembali. (OL-12)

sumber :http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/07/232023/126/101/-Satgas-Pemberantasan-Mafia-Hukum-dan-KPK-Bungkam-soal-SP3-Kayu-Ilegal

Senin, 06 Juni 2011

Aksi Damai Peringati Hari Lingkungan Hidup


PEKANBARU, TRIBUN - Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup, sejumlah pecinta alam se-Riau melakukan aksi damai di bundaran depan kanto Gubernur Riau, Minggu ( 5/6 ). sambil membawa baliho besar yang berisi kecaman terhadap upaya pelestarian hutan, puluhan anggota pecinta alam ini juga melakukan orasi lingkungan dan aksi teatrikal.
Aksi yang dimulai pada pukul 10.00 diawali dengan orasi lingkungan oleh Mapala Universitas Islam Riau ( UIR ). Menurutnya, semakin hari, kondisi alam semakin buruk. Seluruh elemen masyarakat harus ambil bagian dalam upaya menyelamatkan alam dari kerusakan yang dapat merugikan bagi manusia.
selain orasi tentang lingkungan, anggota pecinta alam dari mapala UIR, Mapalindup Universitas Riau, Mapala Laksmana Bengkalis, dan pecinta alam lainnya juga membagikan-bagikan bibit pohon kepada warga yang melintas di Jalan Sudirman.

Koordinator aksi, Muhammad Syahril menyatakan, pembagian bibit merupakan langkah nyata dari upaya pelestarian lingkungan. Bagi siapa saja yang menerima bibit pohon, ia berharap akan segera menanamnya untuk menunjukkan sikap pro aktif masyarakat terhadap upaya pelestarian alam.
selain masyarakat ikut berperan aktif, mahasiswa yang akrab di sapa Ayay menambahkan, peran pemerintah dalam pelestarian alam sangat penting. sebagai pemegang kebijakan, pemerintah seharusnya berani melakukan tindakan tegas terhadap perusak keseimbangan alam.
Aksi teatrikal yang diperankan sembilan anggota pecinta alam turut menghiasi aksi damai tersebut. Dalam aksi itu para pecinta alam melumuri tubuh mereka dengan cat warna hitam yang menyimbolkan hangusnya hutan di Riau.
Dirut Wahana Lingkungan Hidup ( WALHI ), Hariansyah Usman yang hadir dalam kegiatan itu sependapat bahwa pemerintah harus berani melakukan langkah konkrit. Khusus di Riau, ia mencontohkan tentang kerusakan sektor kehutanan, sehingga Riau merupakan daerah penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. "Pemerintah harus berani berkata tidak untuk melanjutkan kebijakan yang bersifat merusak," ujarnya.
Pada peringatan hari lingkungan hidup ini, Hariansyah mempertanyakan tentang moratorium yang baru dilaksanakan di Riau pada tahun depan. Melihat tingkat kerusakannya, seharusnya moratorium dilaksanakan segera. Ia mencurigai ada kepentingan bisnis akan hal itu. Di Riau, terdapat dua perusahaan besar yang masih mengandalkan kayu alam untuk menunjang produksinya. sementara perusahaan tersebut, menurutnya baru akan menerapkan kebijakan tidak lagi menggunakan kayu alam padaa tahun 2013 mendatang.
Hariansyah khwatir akan komitmen dari dua perusahaan itu tidak menepati komitmennya. Karena sebelumnya, mereka juga menyepakati tidak akan menggunakan kayu alam pada 2009. Tapi nyatanya hingga saat ini, perusahaan itu masih terus menggunakan kayu alam. "Hal itu bisa terjadi karena tidak adanya sangsi yang bisa diberikan, jika ternyata komitmen tersebut tidak terealisasi," katanya.
Ia menambahkan, jika pemerintah tidak mencegah laju kerusakan alam, maka target penurunan emisi sebesar 26 persen tidak akan tercapai. Dalam hal ini ia juga mempertanyakan komitmen SBY sebagai pemegang kebijakan tertinggi. Menurutnya, jika tidak ada langkah kongkrit untuk menghentikan kerusakan alam, apa yang dilakukan SBY selama ini hanyalah akal-akalannya saja untuk mendapatkan bantuan asing dengan tameng pelestarian alam. ( cr11 )

Ada 172 Titik Api Tersebar di Hutan dan Lahan Riau

Pemantauan satelit Modis Terra aqua yang dilakukan oleh Eyes on The Forest (EoF) periode 18 - 21 Oktober 2010 menemukan 172 titik api (hotspot) di Provinsi Riau. Ada sekitar 82 titik api berada di areal konsesi HTI sisanya 90 titik api menyebar di Lahan Perkebunan sawit, hutan dan padang alang-alang. Dari 82 titik api di HTI terdeteksi 62 berada di konsesi perusahaan yang berafiliasi dengan APP/Sinar Mas Grup, kemudian 20 titik api berada di konsesi APRIL Grup.

Demikian menurut Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dalam siaran persnya 23 Oktober 2010.
Disebutkan bahwa beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan APP / Sinarmas yang dianalisis EoF berdasarkan satelit Modis yang berkobar oleh kebakaran pada bulan Oktober adalah PT. Tiara Cahaya Delima (Giam Siak Kecil blok), PT. Liwa Perdana Mandiri, PT Ruas Utama Jaya (Senepis blok), PT. Surya Dumai Agrindo, PT Rimba Rokan Perkasa, PT Arara Abadi dan PT Satria Perkasa Agung. Sementara, perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL yang berkobar oleh kebakaran adalah di konsesi PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Pusaka Mega.

Menanggapi fenomena kebakaran hutan dan lahan itu, Usman mengatakan bahwa paling tidak ada 2 (dua) hal penting menurut Walhi Riau yang harus segera dilakukan perbaikan oleh pemerintah agar Tragedi Asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia khususnya di Riau tidak terus terulang.

Pertama, upaya pencegahan yang tidak optimal dilakukan dan tidak terkoordinasi dengan baik. Laporan BMKG yang menyebutkan terjadi peningkatan suhu ekstrim di Riau 36 - 38 derajat Celcius seharusnya sudah dapat dijadikan peringatan bagi pemerintah untuk segera melakukan upaya pencegahan, misal meningkatkan operasi pemantauan di lokasi rawan kebakaran dengan koordinasi yang sistematis dari pemerintah pusat, provinsi sampai tingkat desa. Kemudian dilanjutkan dengan pendirian posko-posko di lokasi rawan tersebut.
Kedua, tidak dilakukannya upaya Penegakan Hukum. Fakta masih ditemukannya lokasi kebakaran hutan dan lahan di areal konsesi perusahaan tidak pernah ditindak lanjuti dengan upaya tindakan hukum yang tegas, sehingga tidak pernah menimbulkan efek jera. Salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) pada Desember 2009 di Kabupaten INHU terhadap PT. Bertuah Aneka Yasa (BAY) yang diperkirakan telah menimbulkan kerugian sebesar Rp 30 miliar akibat kebakaran yang terjadi di areal konsesinya di Kecamatan Kuala Cenaku. Kasus ini kemudian tidak jelas sampai dimana prosesnya.
Sementara itu saat konferensi pers terkait satu tahun pengelolaan lingkungan hidup Kabinet Indonesia Bersatu II, Gusti Muhammad Hatta sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) di Jakarta (22/10) mengatakan bahwa pihaknya bersama Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah dan masyarakat telah melakukan penanganan terhadap titik api itu. MenLH juga melakukan komunikasi dengan beberapa menteri lingkungan hidup negara tetangga (Singapura dan Malaysia) mengenai penanganan yang serius telah dilakukan.
“Tugas penanganan titik api seharusnya dilakukan oleh pemerintah tingkat provinsi, tapi kami tetap menurunkan tim untuk ikut menangani dan mencari penyebabnya. Sistem penanganan sudah berjalan,” kata Gusti.
Menurutnya, sementara yang menjadi sumber kabut asap yang sampai ke negeri tetangga berasal dari Bengkalis, Riau. Tim KLH akan ikut menangani titik api di luar hutan. Sedangkan tim Kemenhut menangani titik api di dalam hutan. Namun tetap ada kerjasama untuk memastikan dan menangani sumber titik api di lapangan, apakah di hutan, kebun swasta atau kebun rakyat.
Tidak membakar lahan
Dalam penanganan titik api, KLH juga melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat untuk tidak melakukan pembakaran untuk membuka lahan barunya. Selain itu melakukanwater management di lahan gambut agar bisa mengurangi kebakaran lahan.
MenLH mengatakan, munculnya titik api karena sulitnya pengawasan wilayah Indonesia yang luas dan masih maraknya pembukaan lahan pertanian secara tradisional dengan membakar lahan. Untungnya, hujan yang sering turun karena pengaruh La Nina saat ini juga sangat membantu dalam pemadaman titik api.
Pada tahun 2010 ini, KLH mengaku titik api yang memicu kebakaran hutan turun drastis sebesar 70 persen dibandingkan 2009. Jumlah 70 persen dari 15.000 titik dihitung berdasarkan data acuan 2006. Sedangkan target penurunan hotspot setiap tahun yang harus dicapai adalah 20 persen.
Pengendalian titik api terutama dilakukan di delapan provinsi rawan kebakaran yaitu Riau, Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Namun yang menjadi kewajiban KLH untuk mengendalikan titik api hanya di enam provinsi yaitu empat di Sumatra dan dua di Kalimantan. Lalu KLH menambahnya menjadi delapan provinsi karena menganggapnya rawan.

http://www.beritabumi.or.id/?g=liatinfo&infoID=KB0016&ikey=2

Penegakan Hukum Terhadap 14 Perusahaan Yang Melakukan Ilegal-Logging di Riau Tersandera oleh Institusi Penegak Hukum


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak agar Kapolri segera mencabut SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terhadap empat belas perusahaan perkayuan di Riau yang diduga mendapatkan surat izin tebang dengan cara ilegal dan janggal. Kasus ini bermula saat Kapolda Riau dijabat oleh Brigjend Sutjiptadi. Polda saat itu melakukan pemberkasan terhadap 200 tersangka dari 14 perusahaan perkayuan di Riau yang berada di bawah kepemilikian dua pabrik pulp dan kertas yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper (Raja Garuda Mas/APRIL) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (Sinar Mas Groups/APP). Namun, 22 bulan berjalan dilakukan SP3 terhadap 13 perusahaan tersebut, dan menyusul kemudian 1 perusahaan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menagih janji Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo. Pada saat Jendral Polisi Timur Pradopo diangkat menjadi Kapolri secara kontroversial, telah mencanangkan 10 (sepuluh) program prioritas yang dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pelayanan prima yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Dalam melaksanakan 10 program tersebut, Kapolri telah membuat tahapan dalam pelaksanaannya yakni 100 hari pertama (November 2010 s/d Januari 2011) meliputi: a). Pengungkapan dan penyelesaian kasus-kasus menonjol; b). Meningkatkan pemberantasan terhadap kejahatan yang meresahkan masyarakat, yaitu preman, kejahatan jalanan, perjudian dan narkoba, serta kejahatan yang merugikan kekayaan negara yaitu illegal logging, illegal fishing, illegal mining, human trafficking dan korupsi.
Sejauh ini WALHI menilai bahwa Polri belum mengalami banyak perubahan baik secara struktural maupun kultural sesuai dengan tuntutan rakyat. Berbagai kasus menonjol yang menjadi perhatian, meresahkan dan merugikan rakyat belum mampu dituntaskan sesuai dengan janji yang telah disampaikan oleh Kapolri. Padahal, kasus ilegal logging yang dilakukan oleh 14 perusahaan di Riau tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara. Ditemukan kehilangan hutan seluas 188.593 Ha atau kehilangan kayu alam 16.882.702,28 m3 (volume rata-rata: 89,56 m3 per hektarnya). Ketiadaan proses hukum yang transparan dan akuntabel menunjukkan bahwa penegakan hukum serta Hak Asasi Manusia di Indonesia saat ini tersandera oleh institusi penegak hukum.
Mengacu pada fakta-fakta hukum dan dugaan adanya praktek mafia dibalik penghentian kasus 14 perusahaan tersebut maka Kapolri seharusnya mencabut SP3 atas perkara ini. WALHI yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan juga telah menyerahkan 12 nama aktor yang harus diteliti dugaan keterlibatannya dalam kasus ini kepada Satgas Anti Mafia Hukum, dengan komposisi: 2 dari level atas Polri, 1 mantan menteri, 1 jaksa, 2 kepala daerah, dan 3 mantan Kepala Dinas Kehutanan. Selain itu, dari unsur perusahaan perlu diperiksa 2 perusahaan induk dari 14 total perusahaan yang diduga bermasalah.
Selain itu, WALHI juga mendukung KPK untuk segera melakukan penegakan hukum yang tepat sasaran dan mendesak Menteri Kehutanan untuk segera memperbaiki 17 masalah sistemik yang dirilis KPK, sebagai bentuk perlawanan terhadap Mafia Huta

Walhi : Kebijakan Moratorium Hanya Akal-akalan

5 Juni 2011 - 16.12 WIB
PEKANBARU, riauonline.com- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau. Sudah saatnya pemerintah memberlakukan jedah tebah (moratorium terhadap hutan alam Riau. Jika dalam waktu satu ke depan pemerintah belum juga menerapkan moratorium terhadap hutan Riau, maka alamat hutan alam Riau akan tinggal nama. 

Menurut Direktur Walhi Riau Hariansyah Usman, pemerintah pusat berncana baru akan menerapkan moratorium terhadap hutan alam Riau tahun 2012 mendatang. Meskipun pemerintahan SBY telah berjanji untuk memberlakukan moratorium, namun Walhi pesimis dengan keseriusan pemerintah.

"Walhi menilai pemerintah pusat sengaja mengulur-ulur waktu untuk melaksanakan moratorium di Riau. Karena kepentingan yang lebih besar yang sengaja dilindungi pemeringtah. Yakni dua perusahaan besar (Indah kiat dan RAPP) yang hingga kini masih sangat tergantung pada kayu alam," kata Hariansyah.

Dua perusahaan yang memprodukdi pulp and paper tersebut masih menggantungkan sumber bahan bakunya dari kayu alam. Siapapun lanjut Hariansyah tidak akan memungkiri bahwa Riau merupakan salah daerah parah mengalami kerusakan hutan. Karena Walhi menilai keputusan presiden untuk memberlakukan moratorim tahun 2012 mendatng hanya akal-akalan pemerintah untuk kepentingan yang lebih besar.

"Kami menilai kebijakan Presiden SBY untuk menurunkan 26 persen kadar emisi gas buang sebagai kebijakan akal-akalan saja," sebut Hariansyah.(zlf)



Sumber ; http://www.riauonline.com/berita.php?act=full&id=699

Sabtu, 04 Juni 2011

Seminar Hari Lingkungan Hidup


Sehubungan dengan diadakannya kegiatan  “Seminar Hari Lingkungan Hidup” yang ditaja oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Biologi ( HIMAP – BIO ) FKIP UIR, Direktur Eksekutif WALHI Riau Hariansyah Usman diminta untuk mengisi materi pada kegiatan tersebut dengan topik “Akibat Buruk Eksploitasi dan Deforestasi” yang diadakan pada hari Sabtu, 4 juni 2011 bertempat di Auditorium Convention Hall lantai 3 Fakultas Hukum UIR dengan tema “Save of Riau Forest” menjelang musnahnya hutan Riau 2025.
            Hingga tahun 2011 ini  hutan alam yang tersisa hanya < 2 Juta ha (<30% dari luasan daratan Riau)  dan dampak yang ditimbulkan maraknya bencana ekologis dan terhadap ekonomi sosial dan budaya mengakibatkan Maraknya Kasus Korupsi Kehutanan , Pemiskinan Masyarakat Lingkar Hutan , Perubahan Pola Kehidupan (Petani-Buruh, Produktif-Konsumtif), Hilangnya kebiasaan berburu dan Konflik Tanah” dijelaskan dalam presentasenya WALHI. Kemudian dari JIKALHARI yang diwakili oleh Usman dalam presentasenya dijelaskan “Berdasarkan analisis Jikalahari dari luasan 1,9 juta konsesi HTI di Riau, 819.955 hectare berada dihutan alam/ kawasan lindung yang idealnya tidak ada konversi di kawasan tersebut.  Dan penyebab terbesar Deforestasi adalah ekspanse perkebunan kayu skala besar dan ambisius perkebunan sawit yang mana Perkebunan sawit tahun 2007 telah mencapai luasan 2,157,091 hektar. Seperempat lahan kelapa sawit indonesia berada di propinsi riau, dari 2,158,091 hektar luas sawit Riau  39 % Sawit berada di lahan gambut dan 55% berada dilahan gambut dalam dan sangat dalam.
Karena carut marutnya masalah kehutanan di Riau ini sehingga WALHI mengusulkan untuk berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan, untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang, menyeluruh dan permanen.  Dan Jeda tebang dan konversi dilaksanakan selama paling sedikit 15 tahun untuk kemudian dilakukan evaluasi untuk meninjau kembali keputusan tersebut. 

Kamis, 02 Juni 2011

Anas Urbaningrum Terlibat Gurita Bisnis Keluarga Nazaruddin di Riau

PEKANBARU--MICOM: Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dipastikan terlibat dalam gurita bisnis keluarga mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Nazaruddin di Riau. 

Anas Urbaningrum masuk dalam jajaran Komisaris di bisnis perkebunan sawit PT Panahatan yang dipimpin Direktur Utama (Dirut) Muhammad Nasir yang juga kakak sepupu Nazaruddin. 

"Iya benar, keluarga Nazaruddin dan Nasir punya bisnis perkebunan sawit di Duri (PT Panahatan). Mereka juga menguasai berbagai bisnis dan proyek lainnya di Riau, seperti jasa kontruksi dan tender proyek di rumah sakit," kata Koordinator Divisi Kaderisasi, Pendidikan, dan Pelatihan DPD Partai Demokrat Riau Ronny Riansyah kepada Media Indonesia di Pekanbaru, Kamis (26/5). 

Ronny mengungkapkan bisnis sawit keluarga Nazaruddin yang masih berhubungan saudara dengan Muhammad Nasir yang kini duduk sebagai anggota DPR-RI Partai Demokrat pemilihan Riau sempat menjadi sorotan media massa, karena lahannya bermasalah dan bersengketa dengan warga sekitar. 

Namun perkembangan kasus sengketa itu tiba-tiba terhenti yang dari keterangan warga diduga akibat adanya pengaruh orang kuat di Senayan, Jakarta. 

"Dulu pernah ribut tentang bisnis sawit mereka itu di surat kabar lokal. Bisnisnya bermasalah," ujar Ronny. 

Dari informasi yang berhasil dihimpun Media Indonesia, bisnis sawit keluarga Nazaruddin bersama istrinya Neneng, dan kakaknya Muhammad Nasir, menempatkan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai Komisaris dengan kepemilikan saham sebesar 35%. 

Sedangkan Nazaruddin duduk di kursi Presiden Komisaris dengan porsi saham yang sama yakni 35%. Sementara Muhammad Nasir menjadi Direktur Utama dengan kepemilikan saham 30%. 

"Lahan sawit di pematang pudu itu berada kawasan hutan lindung Suaka Margasatwa Balai Raja. Daerah itu adalah ring road populasi gajah. Di sana kerap terjadi konflik kematian gajah," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Hariansyah Usman. 

Menurut Hariansyah, adanya perkebunan sawit di daerah itu jelas-jelas melanggar karena kawasan tersebut adalah suaka margasatwa. Adapun konflik kematian gajah yang kerap terjadi disebabkan oleh semakin membeludaknya lahan sawit di daerah tersebut. 

"Kita sering terima pengaduan warga soal sengketa sawit disana," jelas Hariansyah. 

Senada dengan itu, Eri, pemilik kebun sawit yang berbatasan langsung dengan 2.000 hektare kebun sawit PT Panahatan yang diduga kongsi bisnis Nazaruddin dan Anas Urbaningrum, menjelaskan sengketa lahan yang terjadi disebabkan karena banyaknya surat tanah ilegal yang diperjual belikan secara bebas. 

Konflik terjadi karena perusahaan di sekitar pemukiman warga di Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau sering mencaplok lahan warga. 

"Kita tak tahu siapa pemilik perusahaan-perusahaan itu. Tapi mereka suka ambil lahan dan itu membuat warga marah," ujarnya. 

Sementara itu, dari hasil penelusuran Media Indonesia, Nazaruddin ternyata memiliki keluarga besar di Pekanbaru. Mertuanya, Nurmani merupakan warga Jl Amal, Kecamatan Sukajadi Pekanbaru. 

Istri Nazaruddin, Neneng, juga merupakan anggota Partai Demokrat. Neneng juga pernah ikut pemilihan anggota DPR-RI Dapil II dari Riau. Sedangkan sepupu Nazaruddin, Muhammad Nasir selain anggota DPR RI juga mantan pengurus DPD Partai Demokrat Riau. 

Begitu juga kakak sepupunya, Rita Zahara merupakan Bendahara Umum (Bendum) DPD Partai Demokrat Riau sekaligus Ketua Fraksi Demokrat DPRD Riau. 

Keluarga besar Nazaruddin ini menempati tanah keluarga seluas 220 meter persegi di Jl Amal tersebut. Abang Neneng, Syafrizal membuka usaha warung rumah makan di dekat rumah keluarga itu. Di sampingnya kini berdiri bangunan mewah berlantai dua yang hampir rampung. 

Rumah mewah bergaya minimalis ini, menurut Syafrizal dibangun secara bergotong royong sesama keluarga besar Nurmani. Nazaruddin dan Neneng disebut-sebut sebagai penyumbang terbesar untuk membantu pembangunan rumah orang tuanya itu yang ditaksir senilai Rp2 miliar. 

"Biaya pembangunan rumah ini ditanggung bersama. Namun sebagian besar dana berasal dari Nazaruddin dan istrinya, Neneng,? kata pria yang akrab disapa Eri ini. 

Rumah mertua Nazaruddin yang tengah dibangun itu terbilang paling mewah dibandingkan dengan rumah-rumah yang berada di sekitarnya. Rumah mertua Nazaruddin itu persisnya mulai dibangun sejak delapan bulan lalu. (OL-12) 


sumber ; http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/229167/284/1/-Anas-Urbaningrum-Terlibat-Gurita-Bisnis-Keluarga-Nazaruddin-di-Riau

Rabu, 01 Juni 2011

PT SRL Gagal Sertifikasi PHPL

      
PEKANBARU, TRIBUN - PT. SARBI INTERNATIONAL CERTIFICATION akhirnya tidak memberikan sertifikat bagi IUPHHKT-HTI PT. Sumatera Riang Lestari. Keputusan ini berdasarkan pengumuman surat yang dikeluarkan oleh PT. SARBI INTERNATIONAL CERTIFICATION sebagai lembaga auditor pada tanggal 12 Mei 2011 yang lalu.
Hal ini diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dalam siaran persnya kepada Tribun, Selasa (31/5). Mereka menyebutkan, terdapat banyak indikator kunci dalam penilaian yang tidak terpenuhi oleh PT. SRL yang mengelola areal seluas 215.303 hektare di Sumatera Utara dan Riau. Sertifikasi mandatori ini adalah amanat dari Peraturan  Menteri Kehutanan Nomor 38 tentang Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak.

Kedua lembaga ini menjelaskan, satu indikator kunci yang bernilai buruk yakni kesesuaian dengan peraturan perundangan dan kerangkan hukum yang berlaku. Terutama aturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan secara lestari dan jenis serta jumlah perjanjian yang melibatkan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat dalam kesetaraan tanggungjawab pengelolaan. Bahkan dari wilayah blok III yang disertifikasi, dikabupaten Rokan Hilir, terdapat 13 indikator kunci bernilai buruk dari 24 indikator penilaian. Sekretaris Jendral Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Irsyadul Halim mengatakan, berdasarkan hasil audit tersebut jelas menunjukkan penolakan masyarakat di Rohil, Pulau Rupat, Kabupaten Kepualauan Meranti dan Kabupaten Indragiri Hilir terhadap keberadaan PT. SRL mempunyai dasar yang jelas.
“ Pemberian izin konsesi pada perusahaan HTI mengakibatkan berkurangnya wilayah kelola masyarakat yang akhirnya secara pelan-pelan akan membunuh dan mengusir masyarakat dari sumber kehidupannya. Sehingga nantinya masyarakat hanya menjadi penonton dan penerima dampak dari buruknya pengelolaan hutan gambut tersebut,” kata Irsyadul Halim.

Irsyadul menilai sudah selayaknya izin itu dihentikan. “Melihat hasil penilaian tersebut, harusnya izin perusahaan tidak layak diteruskan. Biarlah masyarakat yang menentukan pilihan hidupnya bahkan bila perlu berikan kepercayaan kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan di wilayahnya, sebut Irsyadul Halim.
Sementara itu Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Eksekutif Walhi Riau, Mulyadi, menyatakan, tidak keluarnya sertifikat PHPL PT. SRL membuktikan hal yang disampaikan pihaknya selama ini benar.
“PT SRL tidak serius dan beritikad baik mengelola konsesinya. Areal perusahaan juga berada di wilayah ekologi genting seperti berada di pulau-pulau kecil dan area gambut dalam yang rentan terjadi kerusakan lingkungan,” kata Mulyadi. 

Walhi Riau Minta Aparat Tak Mainkan Kasus Pembalakan

Pekanbaru, 26/5 (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau berharap aparat di provinsi itu tidak "memainkan" kasus pembalakan liar (illegal logging) yang hingga kini diyakini masih berlangsung  dengan skala kecil.

         "Kami merespon baik apa yang dilakukan aparat penegak hukum tanpa melihat siapa pelaku pembalakan termasuk oknum aparat Riau, tetapi jangan sampai mereka 'memainkan' kasus itu," ujar Direktur Eksekutif Walhi Riau, Hariansyah Usman, di Pekanbaru, Kamis.

         Dia mengatakan, kasus penyerangan Polsek Kampar yang diduga dilakukan belasan oknum TNI untuk membebaskan secara paksa seorang sopir truk kayu yang ditahan karena diduga membawa hasil pembalakan liar memiliki motif keterlibatan oknum tertentu.

         Indikasi lain masih terjadi pembalakan liar di Riau yakni, masih ditemukannya truk-truk pembawa kayu gelondongan yang bebas lalu lalang tanpa pemeriksaan ketat di pos-pos pemeriksaan hasil alam yang ada pinggir di jalan raya.

         Menurutnya, telah menjadi rahasia umum bahwa para pelaku pembalakan liar tidak akan akan terjadi bila tidak didukung dengan modal yang cukup, kemudian pengusaha hitam yang bertindak sebagai cukong kayu, di "beking" oknum aparat.

         Walhi Riau berharap oknum aparat hukum Riau benar-benar menegakkan pemberantasan illegal logging, karena pemerintah telah memberikan payung hukum yang jelas seperti Inpres No.4/2007 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredaraannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

         "Jika dibandingkan secara kuantitas, jumlah kasus pembalakan liar di Riau menurun. Namun bukan berarti tidak ada sama sekali, karena itu kami berharap aparat menegakkan aturan yang ada," katanya lagi.

         Kasus penyerangan Polsek Kampar di Kabupaten Kampar, terjadi pada Senin, (16/5) petang, bermula dari ditahannya seorang supir truk yang berhasil ditangkap di Tibun, Kampar, Rabu, (11/5), karena diduga mengangkut kayu tanpa dokumen yang diduga hasil illegal logging.

         Denpom Pekanbaru sendiri dikabarkan telah menahan 10 oknum TNI yang mendatangi Polsek Kampar untuk menjalani pemeriksaan terkait keterlibatan terhadap pembebasan secara paksa supir truk dan illegal logging.


sumber : http://www.antarariau.com/id/modul/14585/walhi-riau-minta-aparat-tak-mainkan-kasus-pembalakan.html