Jumat, 09 Maret 2012

kamuflase korporasi hijau

KAMUFLASE KORPORASI HIJAU
==========================================================
            Salah satu cara yang dipakai oleh korporasi untuk meluaskan pasarnya dan meningkatkan dominasinya atas ekonomi global adalah dengan melakukan praktik-praktik kehumasan dan kamuflase hijau (greenwash). Dalam banyak kesempatan korporasi menggambarkan dirinya sebagai “sahabat lingkungan” serta “penyelamat kaum miskin”.
            Strategi kamuflase hijau juga digunakan oleh korporasi untuk menjawab berbagai kritik yang dialamatkan kepada mereka. Alih-alih melakukan perbaikan secara sungguh-sungguh atas berbagai kinerja operasinya, korporasi memilih mengeluarkan dana jutaan dollar dan meminta konsultan kehumasan menyiapkan berbagai kemasan iklan dan kampanye untuk  menutupi berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh operasinya.
            Wajah sejati korporasi nampak dengan jelas ketika praktik-praktik pelanggaran terhadap aturan lingkungan hidup, pelecehan hak-hak pekerja, serta pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung di seluruh dunia.
            Propaganda sistematis adalah cara yang digunakan oleh korporasi untuk melanggengkan pengambilalihan diam-diam (silent take over) cara berpikir kita. Aksi semacam ini bermain di wilayah ide dan gagasan, dengan tujuan utama, yakni; terbentuknya opini publik yang mendukung cara eksploitasi dan pengelolaan hutan yang mereka lakukan dengan penekanan pada produktifitas, efisiensi, serta profit yang jauh lebih besar dibandingkan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku tradisional yang berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal - yang mereka gambarkan sebagai sikap salah kaprah dalam pengelolaan hutan.
            Di sisi lain, beberapa kelompok korporasi mempromosikan apa yang mereka sebut sebagai  Corporate Social Responsibility (CSR). Namun pada praktiknya, program yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan dan wilayah operasinya ini dilakukan hanya di permukaan saja, atau dengan kata lain, hanya terbatas pada aktifitas-aktifitas karitatif yang dangkal dan tidak menjawab problem mendasar yang menjadi keprihatinan utama kelompok-kelompok komunitas dan masyarakat madani lain.
            WALHI Riau sendiri mencatat kejahatan-kejahatan yang dilakukan korporasi besar seperti Sinar Mas Group dan April Group. Ada 14 perusahan yang ikut dalam ilegal logging yang terbagi dalam 2 korporasi besar diatas yaitu  Sinar Mas Grup, dengan anak  perusahaan seperti PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana (BDL), PT Rimba Mandau Lestari (RML), PT Ruas Utama Jaya, serta PT Ruas Utama Jaya (RUJ). April group dengan anak perusahaan seperti PT Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP), PT Madukoro, PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL), PT Nusa Prima Manunggal (NPM), PT Bukit Batubuh Sei Indah (BBSI), PT Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT Mitra Kembang Selaras (MKS)

Contoh Kasus 1.
            Nota kesepahaman Kemenhut dalam hal ini diwakili Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan Asia Pulp and Paper Group (APP) di Riau tentang konservasi harimau Sumatera dan satwa langka.[1]
Point-point penting:
·         melindungi harimau Sumatera serta berbagai satwa langka.
·         pelestarian harimau Sumatera di dalam kawasan konservasi
·         Kesepahaman pemerintah dan pihak swasta meredam konflik antara harimau dan manusia.
·         Pihak APP mendukung pengintegrasian tataran upaya pelestarian alam demi perlindungan harimau dan satwa langka lainnya di Sumatera.
Fakta di lapangan:

1.                  Tim gabungan Greenpeace, Walhi, KKI, Warsi, Wahana Bumi Hijau pada tanggal  23 November 2011 menyerahkan fakta-fakta penghancuran hutan Indonesia di tiga wilayah; Riau, Jambi dan Sumatera Selatan kepada presiden Susilo Bambang Yudoyono. Pengrusakan di lakukan oleh anak perusahaan APP.[2]

2.                  Sebuah investigasi yang dilakukan oleh Eyes on the Forest membuktikan PT Ruas Utama Jaya (RUJ) dan PT Suntara Gajapati (SG) yang merupakan pemasok kayu Asia Pulp & Paper (APP) tengah menebangi hutan tropis di dalam Suaka Harimau Senepis di Riau - suaka yang diiklankan secara global oleh APP sebagai bagian dari komitmen yang digembar-gemborkan untuk konservasi harimau.[3]

Contoh kasus 2.

Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP di Pulau Padang.

Poin-poin penting:

1.              Adanya indikasi Pembohongan dalam pelaporan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) PT. RAPP. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan di Indonesia.[4]

2.              Pulau Padang juga merupakan lokasi kajian utama dari Dr. Michael  Allen  Brady  (1997), sekarang  Executive Director GOFC-GOLD (Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics. GOFC-GOLD  adalah  Panel of the Global Terrestrial Observing  System (GTOS),  yang disponsori oleh  FAO, UNESCO, WMO, ICSU and UNEP, yang melaporkan  bahwa sebagian besar  kedalaman  lahan gambut di Pulau Padang bahkan berkisar antara 9-12 meter, sehingga termasuk ekosistem lahan gambut dalam.[5]

3.              Adanya penipuan data terhadap jumlah penduduk yang mendiami pulau padang. [6]

            Dua contoh kasus diatas merupakan bukti bahwa dari waktu ke waktu, korporasi lokal maupun multinasional mengkonsolidasikan kekuasaan dan pengaruhnya kepada pemerintah dan politikus lokal dan nasional. Dengan kondisi tersebut, sulit terwujud keadilan dari sistem lokal dan nasional yang diharapkan oleh komunitas yang berusaha menuntut tanggung gugat korporasi melalui mekanisme legal nasional yang ada.

Terjadinya Benturan Logika Hukum

            Konflik yang muncul dari imbas korporasi hijau (greenwash) adalah munculnya benturan-benturan hukum antara hukum negara (perundang-undangan) dan hukum yang tumbuh ditengah masyarakat (norma, kebiasaan dan hukum adat). Masyarakat adat telah mempelajari perilaku lingkungannya selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Karena itu, mereka berhasil menerapkan praktek per-tanian yang ramah lingkungan. Persinggungan dua sistem hukum yang berbeda ini, pada akhirnya cenderung merugikan masyarakat setempat serta lingkungannya.

            Dalam situasi seperti ini hubungan antara hukum adat dan hukum positif berada dalam pluralisme yang lemah. Hukum adat (kearifan lokal) akan berada dan berusaha bertahan di tengah dominasi hukum negara. Karena itu, ketika terjadi pelanggaran terhadap kawasan hutan, hukum negara tidak bisa mengakomodir kepentingan masyarakat dan lingkungan di dalamnya. konsekuensinya, penegakan hukum akan menjadi asimetris di mana korporasi besar akan selalu menjadi pihak yang diuntungkan sedangkan masyarakat berada di sisi yang justru berolak belakang.

            Kasus-kasus seperti konflik lahan, ilegal logging, dan musnahnya satwa langka akan sulit di atasi jika pemerintah yang memegang kewenangan dalam hal birokrasi hukum dalam waktu yang bersamaan juga menjadi kendaraan bagi perusahaan dalam menjalankan aktivitas ekplorasi mereka. Hal ini menyebabkan terbentuknya sikap pesimis dan stigma negatif masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat cenderung beranggapan bahwa dalam setiap konflik dengan perusahaan, pemerintah hanya akan bertindak sebagai pembela korporasi alih-alih membantu masyarakat. Ibarat melawan 2 raksasa sekaligus dimana perusahaan sebagai musuh utama dan pemerintah sebagai pembela perusahaan. Tidak mengherankan jika kemudian jargon seperti “zaman sekarang manusia lebih takut pada pemerintah dari pada Tuhan“ sering terdengar dalam obrolan masyarakat korban korporasi.

            Harapan kami adalah pemerintah konsisten dengan peraturan dan  kebijakan kehutanan yang  harus diperbaiki dan tidak mengabaikan hak-hak masyarakat. Jangan memandang sesuatu dari segi ekonomi semata dan meninggalkan hal-hal kecil yang prinsipil.

 

SUMBER

Acmad Surambo, Hak Guna Usaha dan Hak asasi Manusia. Komnas Ham dan Sawit Watch, 2010.

Dani Wahyu Munggoro, dkk. Menjadi enviromentalis itu,gampang! Sebuah Panduan Bagi Pemula, WALHI:2007.

Teguh Yuwono, Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP di Pulau padang:  Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan di Indonesia. (Yogyakarta) Januari,2011.

Studi advokasi : PT. RAPP & PT. IKPP di Propinsi Riau, “Perkiraan Penggunaaan Sumber Bahan Baku Kayu Industri Pulp dan Paper Di Indonesia”. WALHI:2010. 

http://news.detik.com/read/2012/01/12/162445/1814015/10/kemenhut-dan-app-  deklarasi-dukung-konservasi-harimau-sumatera tanggal 1 februari 2011.


 http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-hutan/1796 investigasi-eyes-on-the-forest-temukan-asia-pulp-a-paper-hancurkan-suaka-harimau sumatera.html

 



[1] Diakses dari http://news.detik.com/read/2012/01/12/162445/1814015/10/kemenhut-dan-app-  deklarasi-dukung-konservasi-harimau-sumatera tanggal 1 februari 2011.
[3] Diakses dari http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-hutan/1796 investigasi-eyes-on-the-forest-temukan-asia-pulp-a-paper-hancurkan-suaka-harimau sumatera.html
[4] Teguh Yuwono, Konflik izin IUPHHK-HT PT. RAAP di pulau padang:  potret buram penataan ruang & kelola hutan di indonesia. (yogyakarta) januari,2011.
[5] ibid
[6] ibid

Senin, 02 Januari 2012


Tim Verifikasi dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pelalawan yang turun ke lapangan tanggal 2 dan 3 November lalu di Estate Meranti Kecamatan Teluk Meranti telah menemukan dugaan pembalakan liar yang dilakukan oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). PT RAPP dikenakan sanki Administrasi berupa Paksaan Pemerintah sesuai UU No. 32 Tahun 2009.
Temuan Tim verifikasi BLH Pelalawan menemukan indikasi aktivitas perambahan hutan oleh RAPP di Teluk Meranti berdasarkan bukti-bukti perusahaan ini telah menggarap tanaman yang seharusnya dilestarikan. Tim BLH juga mencocokan data Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) milik PT RAPP dengan kondisi di riil areal.

Menyambut Milad ke 3 Kabupaten Kepulauan Meranti

PEKANBARU, RiauUPDATE - 19 Desember 2011, Kabupaten Kepulauan Meranti berulang tahun ke 3 (tiga) yang mana pada tahun 2009 lalu, kabupaten kepulauan meranti secara resmi memisahkan diri dari kabupaten bengkalis dan menjadi kabupaten baru di Provinsi Riau.
Dengan mendatangkan artis Ibu Kota, gegap gempita sebagian warga merayakannya di halaman kantor Bupati di kota Selat panjang, tapi tidak demikian pilihan yang diambil oleh perwakilan warga Pulau Padang.
Tepat pada Hari Jadinya Kabupaten Kepulauan Meranti, warga Pulau padang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) melakukan Aksi Jahit Mulut di Depan Gerbang DPR-RI di Jakarta.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Hariansyah Usman, dalam Siaran Persnya, Kamis (22/12/2011) mengatakan, seharusnya pemerintah menjadikan momentum ini untuk melakukan introspeksi dan evaluasi.
“Hal ini tentunya menjadi keprihatinan kita semua. Milad akan baik bila pemerintah baik pusat, provinsi maupun kabupaten dapat menjadikannya sebagai momentum untuk melakukan introspeksi dan evaluasi sejauh mana arah kebijakan pembangunan, apakah sudah melaksanakan amanat UUD 1945 khususnya pasal 33 ‘Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’ atau justru sebaliknya akan mendatangkan mudharat berupa kehancuran lingkungan dan kehidupan sosial,” kata Kaka, panggilan akrab dari Hariansyah Usman.