KAMUFLASE
KORPORASI HIJAU
==========================================================
Salah
satu cara yang dipakai oleh korporasi untuk meluaskan pasarnya dan meningkatkan
dominasinya atas ekonomi global adalah dengan melakukan praktik-praktik
kehumasan dan kamuflase hijau (greenwash). Dalam banyak kesempatan korporasi menggambarkan
dirinya sebagai “sahabat lingkungan” serta “penyelamat kaum miskin”.
Strategi
kamuflase hijau juga digunakan oleh korporasi untuk menjawab berbagai kritik
yang dialamatkan kepada mereka. Alih-alih melakukan perbaikan secara sungguh-sungguh
atas berbagai kinerja operasinya, korporasi memilih mengeluarkan dana jutaan
dollar dan meminta konsultan kehumasan menyiapkan berbagai kemasan iklan dan
kampanye untuk menutupi berbagai dampak
negatif yang diakibatkan oleh operasinya.
Wajah
sejati korporasi nampak dengan jelas ketika praktik-praktik pelanggaran
terhadap aturan lingkungan hidup, pelecehan hak-hak pekerja, serta pelanggaran
hak asasi manusia terus berlangsung di seluruh dunia.
Propaganda
sistematis adalah cara yang digunakan oleh korporasi untuk melanggengkan pengambilalihan
diam-diam (silent take over) cara
berpikir kita. Aksi semacam ini bermain di wilayah ide dan gagasan, dengan
tujuan utama, yakni; terbentuknya opini publik yang mendukung cara eksploitasi
dan pengelolaan hutan yang mereka lakukan dengan penekanan pada produktifitas, efisiensi,
serta profit yang jauh lebih besar dibandingkan pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh pelaku-pelaku tradisional yang berpijak pada nilai-nilai
kearifan lokal - yang mereka gambarkan sebagai sikap salah kaprah dalam pengelolaan
hutan.
Di
sisi lain, beberapa kelompok korporasi mempromosikan apa yang mereka sebut
sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Namun pada praktiknya,
program yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap lingkungan dan wilayah operasinya ini dilakukan
hanya di permukaan saja, atau dengan kata lain, hanya terbatas pada
aktifitas-aktifitas karitatif yang dangkal dan tidak menjawab problem mendasar
yang menjadi keprihatinan utama kelompok-kelompok komunitas dan masyarakat
madani lain.
WALHI
Riau sendiri mencatat kejahatan-kejahatan yang dilakukan korporasi besar
seperti Sinar Mas Group dan April Group. Ada 14 perusahan yang ikut dalam
ilegal logging yang terbagi dalam 2 korporasi besar diatas yaitu Sinar
Mas Grup, dengan anak perusahaan seperti
PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana (BDL), PT Rimba Mandau Lestari (RML), PT
Ruas Utama Jaya, serta PT Ruas Utama Jaya (RUJ). April group dengan anak
perusahaan seperti PT Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP), PT Madukoro, PT
Merbau Pelalawan Lestari (MPL), PT Nusa Prima Manunggal (NPM), PT Bukit Batubuh
Sei Indah (BBSI), PT Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT Mitra Kembang Selaras
(MKS)
Contoh
Kasus 1.
Nota kesepahaman Kemenhut dalam hal
ini diwakili Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan Asia
Pulp and Paper Group (APP) di Riau tentang konservasi harimau Sumatera dan
satwa langka.[1]
Point-point penting:
·
melindungi harimau Sumatera serta
berbagai satwa langka.
·
pelestarian harimau Sumatera di dalam
kawasan konservasi
·
Kesepahaman pemerintah dan pihak swasta
meredam konflik antara harimau dan manusia.
·
Pihak APP mendukung pengintegrasian tataran
upaya pelestarian alam demi perlindungan harimau dan satwa langka lainnya di
Sumatera.
Fakta di lapangan:
1. Tim gabungan Greenpeace, Walhi, KKI, Warsi, Wahana Bumi Hijau pada tanggal 23 November 2011 menyerahkan fakta-fakta penghancuran hutan Indonesia di tiga wilayah; Riau, Jambi dan Sumatera Selatan kepada presiden Susilo Bambang Yudoyono. Pengrusakan di lakukan oleh anak perusahaan APP.[2]
2. Sebuah investigasi yang dilakukan oleh Eyes on the Forest membuktikan PT Ruas Utama Jaya (RUJ) dan PT Suntara Gajapati (SG) yang merupakan pemasok kayu Asia Pulp & Paper (APP) tengah menebangi hutan tropis di dalam Suaka Harimau Senepis di Riau - suaka yang diiklankan secara global oleh APP sebagai bagian dari komitmen yang digembar-gemborkan untuk konservasi harimau.[3]
Contoh kasus 2.
Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP di Pulau Padang.
Poin-poin penting:
1. Adanya indikasi Pembohongan dalam pelaporan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) PT. RAPP. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan di Indonesia.[4]
2. Pulau Padang juga merupakan lokasi kajian utama dari Dr. Michael Allen Brady (1997), sekarang Executive Director GOFC-GOLD (Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics. GOFC-GOLD adalah Panel of the Global Terrestrial Observing System (GTOS), yang disponsori oleh FAO, UNESCO, WMO, ICSU and UNEP, yang melaporkan bahwa sebagian besar kedalaman lahan gambut di Pulau Padang bahkan berkisar antara 9-12 meter, sehingga termasuk ekosistem lahan gambut dalam.[5]
3. Adanya penipuan data terhadap jumlah penduduk yang mendiami pulau padang. [6]
Dua contoh kasus diatas merupakan bukti bahwa dari waktu ke waktu, korporasi lokal maupun multinasional mengkonsolidasikan kekuasaan dan pengaruhnya kepada pemerintah dan politikus lokal dan nasional. Dengan kondisi tersebut, sulit terwujud keadilan dari sistem lokal dan nasional yang diharapkan oleh komunitas yang berusaha menuntut tanggung gugat korporasi melalui mekanisme legal nasional yang ada.
Terjadinya Benturan Logika Hukum
Konflik yang muncul dari imbas korporasi hijau (greenwash) adalah munculnya benturan-benturan hukum antara hukum negara (perundang-undangan) dan hukum yang tumbuh ditengah masyarakat (norma, kebiasaan dan hukum adat). Masyarakat adat telah mempelajari perilaku lingkungannya selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Karena itu, mereka berhasil menerapkan praktek per-tanian yang ramah lingkungan. Persinggungan dua sistem hukum yang berbeda ini, pada akhirnya cenderung merugikan masyarakat setempat serta lingkungannya.
Dalam situasi seperti ini hubungan antara hukum adat dan hukum positif berada dalam pluralisme yang lemah. Hukum adat (kearifan lokal) akan berada dan berusaha bertahan di tengah dominasi hukum negara. Karena itu, ketika terjadi pelanggaran terhadap kawasan hutan, hukum negara tidak bisa mengakomodir kepentingan masyarakat dan lingkungan di dalamnya. konsekuensinya, penegakan hukum akan menjadi asimetris di mana korporasi besar akan selalu menjadi pihak yang diuntungkan sedangkan masyarakat berada di sisi yang justru berolak belakang.
Kasus-kasus seperti konflik lahan, ilegal logging, dan musnahnya satwa langka akan sulit di atasi jika pemerintah yang memegang kewenangan dalam hal birokrasi hukum dalam waktu yang bersamaan juga menjadi kendaraan bagi perusahaan dalam menjalankan aktivitas ekplorasi mereka. Hal ini menyebabkan terbentuknya sikap pesimis dan stigma negatif masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat cenderung beranggapan bahwa dalam setiap konflik dengan perusahaan, pemerintah hanya akan bertindak sebagai pembela korporasi alih-alih membantu masyarakat. Ibarat melawan 2 raksasa sekaligus dimana perusahaan sebagai musuh utama dan pemerintah sebagai pembela perusahaan. Tidak mengherankan jika kemudian jargon seperti “zaman sekarang manusia lebih takut pada pemerintah dari pada Tuhan“ sering terdengar dalam obrolan masyarakat korban korporasi.
Harapan kami adalah pemerintah konsisten dengan peraturan dan kebijakan kehutanan yang harus diperbaiki dan tidak mengabaikan hak-hak masyarakat. Jangan memandang sesuatu dari segi ekonomi semata dan meninggalkan hal-hal kecil yang prinsipil.
SUMBER
Acmad Surambo, Hak Guna Usaha dan Hak asasi Manusia. Komnas Ham dan Sawit Watch, 2010.
Dani Wahyu Munggoro, dkk. Menjadi enviromentalis itu,gampang! Sebuah Panduan Bagi Pemula, WALHI:2007.
Teguh
Yuwono, Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP di Pulau padang: Potret Buram Penataan Ruang & Kelola
Hutan di Indonesia. (Yogyakarta) Januari,2011.
Studi advokasi : PT. RAPP & PT. IKPP di Propinsi Riau, “Perkiraan Penggunaaan Sumber Bahan Baku Kayu Industri Pulp dan Paper Di Indonesia”. WALHI:2010.
http://news.detik.com/read/2012/01/12/162445/1814015/10/kemenhut-dan-app- deklarasi-dukung-konservasi-harimau-sumatera
tanggal 1 februari 2011.
http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-hutan/1796
investigasi-eyes-on-the-forest-temukan-asia-pulp-a-paper-hancurkan-suaka-harimau
sumatera.html
[1] Diakses dari http://news.detik.com/read/2012/01/12/162445/1814015/10/kemenhut-dan-app-
deklarasi-dukung-konservasi-harimau-sumatera tanggal 1 februari 2011.
2.di
akses dari http://reddinfo.wordpress.com/2011/11/23/siaran-pers-greenpeace-walhi-kki-warsi wahana-bumi-hijau/
[3] Diakses dari http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-hutan/1796 investigasi-eyes-on-the-forest-temukan-asia-pulp-a-paper-hancurkan-suaka-harimau
sumatera.html
[4] Teguh Yuwono, Konflik izin IUPHHK-HT PT. RAAP di pulau
padang: potret buram penataan ruang
& kelola hutan di indonesia. (yogyakarta) januari,2011.
[5] ibid
[6] ibid