Rabu, 30 Maret 2011

Digelar, Kongres Jaringan Masyarakat Gambut Riau di Pekanbaru

sebuah kongres digelar di Pekanbaru. Diikuti masyarakat dari 32 desa terluar di Riau untuk membahas pengelolaan kawasan gambut secara berkelanjutan.

Riauterkini-PEKANBARU- Perwakilan komunitas masyarakat dari 32 desa yang berasal dari 4 Kabupaten di Riau akan berkumpul untuk mengikuti Konggres Jaringan Masyarakat gambut Riau pada 29 – 30 Maret ini di Pekanbaru. Pada pertemuan ini akan dibahas tentang strategi Pengelolaan Gambut yang lebih berkelanjutan, berkeadilan dan mensejahterakan . Masyarakat yang akan hadir antara lain utusan dari Kabupaten Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu dan juga akan diikuti oleh masyarakat dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai kabupaten termuda yang terdiri dari gugusan pulau-pulau terdepan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura.

Peserta yang memastikan akan hadir adalah Wan Syafri, salah satu utusan dari Pulau Rangsang, kehadirannya tidak lain adalah ingin membagi pengalaman kepada banyak orang tentang apa yang terjadi saat ini diwilayah mereka . Disampaikannya “ saat ini hutan kami sedang di hancurkan, gambut kami sedang dikeruk dan dijadikan kanal-kanal oleh PT. Sumatera Riang Lestari (PT.SRL), padahal disana ada Tasik Air Putih sebagai sumber utama air tawar bagi kami yang akan terancam kering akibat operasi perusahaan HTI tersebut , belum lagi ancaman abrasi pantai yang setiap tahun mencapai 10-20 meter ”, akankah Pulau Rangsang tenggelam ungkapnya.

Pulau Rangsang yang seratus persen wilayahnya merupakan kawasan gambut ini harusnya penting untuk diberikan perhatian khusus karena akan berdampak terhadap batas kedaulatan maupun terhadap nama baik Negara Indonesia.

Pembukaan hutan di kawasan gambut memang sedang marak terjadi saat ini di Riau. Beberapa izin dikeluarkan bagi perusahaan HTI akasia seperti PT. RAPP yang mendapatkan izin di kawasan Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, PT. Sumatera Riang Lestari di kawasan kerumutan, Pulau Rangsang dan Pulau Rupat kemudian PT. Lestari Unggul Makmur (LUM) di Kawasan Pulau Tebing Tinggi. Belum lagi laju ekspansi perkebunan kelapa sawit yang terus terjadi di kawasan-kawasan gambut yang sangat rentan akan kerusakan ditambah lagi kawasan tersebut juga merupakan wilayah kebun-kebun masyarakat, sehingga konflik tanah antara masyarakat dan perusahan terus terjadi dan grafiknya terus meningkat.

Riau adalah sebuah provinsi yang memiliki kawasan gambut yang terluas di Pulau Sumatera. Dari total 7,2 juta ha gambut sumatera lebih kurang 4 juta ha atau 56,01 % berada di Riau. Hariansyah Usman, Direktur WALHI Riau menyampaikan “ Luasnya hutan gambut Riau dengan keanekaragaman hayati didalamnya, harusnya dapat memberikan kontribusi bagi keselamatan lingkungan hidup serta membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tapi apa yang terjadi saat ini , hampir 56% kondisi kawasan hutan gambut Riau mengalami kerusakan sehingga berkontribusi terhadap terjadinya bencana ekologis seperti banjir, asap serta pemiskinan rakyat Riau. hal ini menunjukan bahwa pemerintah dalam menjalankan pembangunan sampai saat ini sama sekali belum berpihak kepada masyarakat dan lingkungan, dan ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanat UUD 1945 Pasal 33, kata Hariansyah Usman yang juga merupakan SC pada acara ini.

Susanto Kurniawan, koordinator Jikalahari yang juga anggota SC menambahkan kegiatan ini diselenggarakan oleh Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Jikalahari, WALHI Riau, Scale Up, Mitra Insani, Greenpeace, Elang, Kaliptra Sumatera dan Kabut Riau. Diharapkan dari Konggres ini akan memunculkan gagasan-gagasan alternative yang dapat di implementasikan berkaitan dengan eksistensi dan dinamika masyarakat yang hidup di kawasan lahan gambut di Riau. Acara yang ditaja selama 2 hari ini juga dihadiri oleh perwakilan masyarakat pengelola gambut yang ada di Kalimantan dan Sumatera Selatan, harapannya kita semua dapat berbagi cerita dan pengalaman, demikian ungkap susanto kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar