Riau di ambang kepunahan peradaban, itu kata yang tepat untuk menggambarkan krisis LH di Riau secara utuh dan jernih. Dampak pemanasan global telah terasa di Riau dengan di umumkannya kenaikan suhu rata-rata di riau di tahun 2008 adalah 1,2 drajad celcius oleh badan metorologi dan geofisika. Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Indragiri dan Sungai Siak serta 1 selat besar yaitu selat Malaka telah banyak tercemar oleh limbah pabrik kelapa sawit, pabrik pulp and paper dan limbah industri rumah tangga. Namaun secara tegas dan sangat serius persoalan di Riau justru pada ranah penegakkan hukum lingkungan yang mengalamoi kemunduran, dengan telah di SP3-kannya kasus kasus pengrusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging oleh pihak kepolisian, ini menunjukkan keberpihakkan aparat penegak hukum di Riau pada pemodal ( agen kapitalisme global ). Di tambah dengan catatan pelanggaran HAM oleh Polda Riau, dengan menyerang Dusun Suluk Bongkal, Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis, Riau. Lengkap sudah catatan kesengsaraan rakyat riau akibat ulah kapitalisme merambah dan menjarah seluruh sendi hidup dan kehidupan masyarakat marjinal. Tahun 2008 adalah Tahun dengan tegas aparat kepolisian RI berpihak pada pengusaha dan penguasa yang korup di negeri ini. WALHI Riau menorehkan sejarah pada tahun 2007 bersama Brigjend Sutjiptadi sebagai Kapolda Riau pada waktu itu memerangi permbahan dan pembabatan hutan demi terselamatkannya Lingkungan Hidup di Riau dan Pengelolaan LH di Riau yang adil dan lestari, namun apa lacur, setelah Brigjend Sutjiptadi di ganti oleh Brigjend Hadiatmoko, langsung memasang badan utk menghentikan semua proses hukum terkait pengrusakan LH yang melanggar UU 23 / 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pelanggaran UU 41 / 1999 tentang Kehutanan. Berikut catatan yang dapat kami sampaikan:
KEHUTANAN
Berdasarkan data dari sumber Dinas Kehutanan Riau dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan Riau, menunjukan bahwa, kawasan hutan yang ada di Sumatera Selatan terdapat 1.9 jt hektar habis luluh lantak dengan tingkat kerusakan 80.000 ha per tahun, sekarang hanya tersisa 1, 5 jt hektar saja. Dari luasan Hutan tersebut terdiri dari; Hutan Lindung memiliki luas 300.000 hektar, Hutan Konservasi 1,7 jt hektar dan Hutan Produksi 2.jt hektar.
Tingginya tingkat degradasi hutan di Riaul terjadi diakibatkan oleh berbagai usaha-usaha haram (pembalakan liar), usaha yang berselubungkan pada legalitas hukum, seperti konversi lahan menjadi HTI dan perkebunan kelapa sawit, dan kebakaran hutan.
Dalam catatan WALHI Riau telah ada vonis di pengadilan TIPIKOR untuk Bupati Pelelawan Tengku Azmun Jaafar sebanyak 12 tahun penjara karena terbukti mendapat gratifikasi dari 15 perusahaan yang beroperasi di sekitar Kabupaten Pelelawan, yaitu anak perusahaan PT IKPP dan PT RAPP . Kabupaten Pelelawan merupakan wilayah yang paling banyak ditemukan masalah dalam praktek illegal loging dan leggal logging dengan dalih izin IUPHHK HT.
Beberapa kawasan hutan konservasi dan hutan lindung pada wilayah kabupaten tersebut terus mengalami penyusutan akibat kegiatan-kegiatan legal dan illegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HTI, Perkebunan Sawit, serta pembalakan liar (illegal logger).
Khususnya pada kawasan Hutan Suaka Marga Satwa Kerumutan, Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim, Hutan Lindung Mahato, Hutan Lindung Bukit Batabuh, Hutan Lindung Bukit Suligi, Hutan Lindung Bukit Rimbang Baling dan beberapa cagar alam lainnya habis luluh lantak oleh prilaku serakah dan korup di Riau.
Pada seluruh kawasan Hutan Lindung tersebut Walhi Riau menemukan kerusakan Hutan alam di Riau mencapai 180.000 Hektar per tahunnya Sungai Sungai di riau menjadi dangkal akibat erosi tanah dan abrasi bibi sungai, sehingga kalau hujan, sungai langsung meluap.
Sedangkan Temuan pihak Polda Riau 2007, bahwa kerugian negara akibat illegal logging di kawasan hutan mencapai 24 trilyun rupiah. Walhi Riau menyebutkan 789 Milyard kerugian akibat Banjir Bandang di 8 Kabupaten dan Kota di Riau ini.
PERKEBUNAN (Kelapa Sawit)
Luas usaha perkebunan Sawit di Riau adalah 2,1 jt Hektar. Persoalan yang kerap muncul dalam sub sektor perkebunan, yaitu kelapa sawit adalah sebagian besar 68 % perkebunan sawit baik swasta, pemerintah maupun kebun swadaya adalah dilakukan dengan cara membuka kawasan Hutan Alam. Di tambah lagi ambisi PEMDA sejak Otonomi Daerah di laksanakan adalah investasi dengan paradigma pembukaan kawasan hutan. Konflik tenurial di Riau juga semakin meningkat, telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan, Hak atas tanah ulayat tak di akui pemerintah dan lain-lain.
KONFLIK LAHAN
Dari deretan kasus tanah yang muncul pada tahun 2008, ada 123 kasus yang terjadi merupakan konflik yang diakibatkan oleh usaha perkebunan kelapa sawit. Konflik tersebut biasanya lahir, dikarenakan pemerintah tidak pernah mensosialisasikan kepada masyarakat setempat bahwa tanah mereka akan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Hal itu diperparah, karena kebanyakan perusahaan kelapa sawit tidak pernah mengindahkan aturan main yang telah ditetapkan, misalnya memberikan ganti-rugi ataupun mengin-inclave tanah rakyat yang menolak lahannya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Di lapangan, banyak pula perusahaan kelapa sawit memperluas usahanya melebihi dari tata batas perizinan yang telah ditetapkan. Di Riau penambahan kasus setiap tahunnya adalah 23 persen, atau 25 kasus konflik lahan per tahunnya.
Konflik lahan yang merupakan bagian dari persoalan sosial bangsa yang merupakan warisan masalah pemerintahan masa lalu (orde baru), terus saja terjadi di Riau. Pemerintah daerah termasuk lembaga yang selalu beternak konflik ini, memelihara konflik ini agar tetap terus terjadi sehingga konflik ini menjadi lahan korupsi baru dengan modus operandi peningkatan APBD riau dalam menyelesaikan konflik agragia sebesar 9 Milyard per tahun.
Dikeluarkanya berbagai izin-izin baru, khususnya yang diperuntukkan bagi usaha perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri, yang berada di dalam lahan kehidupan rakyat telah memperluas konflik-konflik pertanahan di Riau.
PENCEMARAN
Kasus pencemaran merupakan salah satu persoalan lingkungan yang kerap terjadi di Riau, karena ada 160 buah pabrik kelapa sawit, 2 buah pabrik pulp and paper, 8 buah perusahaan MIGAS Sumsel. Beberapa kasus pencemaran yang muncul di tahun 2008, lebih banyak dilakukan oleh berbagai aktifitas perusahaan dan industri seperti Migas dan Crude Palm Oil (pengolahan minyak sawit). Setidaknya pada tahun ini, dalam catatan WALHI telah terjadi 11 kali pencemaran, yang diantaranya diakibatkan oleh kebocoran pipa dan tumpahan minyak (7 kali) dan pencemaran limbah pabrik kelapa sawit (4 kali).
Tumpahan minyak dan kebocoran pipa paling banyak terjadi pada PT. Pertamina. Beberapa kejadian tersebut selain berdampak kepada tercemarnya air sungai (sungai Rebo di Banyuasin I, dan sungai Kelekar di Prabumulih Barat) juga banyak merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. Selain PT. Pertamina, tercatat PT. Elnusa Oilfield Services (PT. EOS) juga pernah mengalami kebocoran pipa. Kejadian yang terjadi di Kelurahan Betung Kabupaten Banyuasin tersebut menyebabkan air-air sumur warga rusak dan tercemarnya sungai Sedompok sehingga menyebabkan ratusan ikan mati.
Demikian pula pencemaran yang terjadi oleh limbah kelapa sawit. Beberapa kali usaha PT. Ciptu Futera (Cifu) telah mencemari sungai Lagan dan Nau. Atas peristiwa yang telah menyebabkan bau busuk dan matinya ikan di kedua sungai itu, masyarakat Desa Ulak Bandung Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Muara Enim telah melaporkan peristiwa tersebut kepada Pemkab Muara Enim. Hal yang serupa juga dialami oleh masyarakat di Pangkalan Benteng Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Pencemaran yang dilakukan oleh limbah pabrik juga telah merusak air sungai yang kerap digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, minum, dan memasak.
PENUTUP
Kiranya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di tahun ini, tidaklah juga mencerminkan adanya perbaikan dan pembenahan dari periode tahun-tahun sebelumnya. Berbagai gambaran persoalan di atas merupakan realitas, bahwa politik ekologi belumlah diletakkan sebagai asfek dasar bagi kebijakan pembangunan di Sumsel.
Adalah tidak keliru misalkan Pemerintah saat ini telah memasukkan program penanggulangan bencana di dalam politik anggarannya (Pemerintah Provinsi sebesar 8 milyar, dan Pemerintah Kota Palembang sebesar 1 milyar). Bahwa tidak salah pula jika di Sumsel saat ini pemerintah menggalakan program ”pananaman” ratusan ribu pohon. Namun jika program tersebut tidak diimbangi dengan perubahan sistem kebijakan lingkungan yang selama ini dianut, maka persoalan-persoalan ekologi dan kemanusiaan akan terus berlangsung di daerah ini.
Eksekutif Daerah
Wahana Lingkungan Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar