Jumat, 06 Mei 2011

Ada 172 Titik Api Tersebar di Hutan dan Lahan Riau

Pemantauan satelit Modis Terra aqua yang dilakukan oleh Eyes on The Forest (EoF) periode 18 - 21 Oktober 2010 menemukan 172 titik api (hotspot) di Provinsi Riau. Ada sekitar 82 titik api berada di areal konsesi HTI sisanya 90 titik api menyebar di Lahan Perkebunan sawit, hutan dan padang alang-alang. Dari 82 titik api di HTI terdeteksi 62 berada di konsesi perusahaan yang berafiliasi dengan APP/Sinar Mas Grup, kemudian 20 titik api berada di konsesi APRIL Grup.

Demikian menurut Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dalam siaran persnya 23 Oktober 2010.
Disebutkan bahwa beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan APP / Sinarmas yang dianalisis EoF berdasarkan satelit Modis yang berkobar oleh kebakaran pada bulan Oktober adalah PT. Tiara Cahaya Delima (Giam Siak Kecil blok), PT. Liwa Perdana Mandiri, PT Ruas Utama Jaya (Senepis blok), PT. Surya Dumai Agrindo, PT Rimba Rokan Perkasa, PT Arara Abadi dan PT Satria Perkasa Agung. Sementara, perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL yang berkobar oleh kebakaran adalah di konsesi PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Pusaka Mega.

Menanggapi fenomena kebakaran hutan dan lahan itu, Usman mengatakan bahwa paling tidak ada 2 (dua) hal penting menurut Walhi Riau yang harus segera dilakukan perbaikan oleh pemerintah agar Tragedi Asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia khususnya di Riau tidak terus terulang.

Pertama, upaya pencegahan yang tidak optimal dilakukan dan tidak terkoordinasi dengan baik. Laporan BMKG yang menyebutkan terjadi peningkatan suhu ekstrim di Riau 36 - 38 derajat Celcius seharusnya sudah dapat dijadikan peringatan bagi pemerintah untuk segera melakukan upaya pencegahan, misal meningkatkan operasi pemantauan di lokasi rawan kebakaran dengan koordinasi yang sistematis dari pemerintah pusat, provinsi sampai tingkat desa. Kemudian dilanjutkan dengan pendirian posko-posko di lokasi rawan tersebut.
Kedua, tidak dilakukannya upaya Penegakan Hukum. Fakta masih ditemukannya lokasi kebakaran hutan dan lahan di areal konsesi perusahaan tidak pernah ditindak lanjuti dengan upaya tindakan hukum yang tegas, sehingga tidak pernah menimbulkan efek jera. Salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) pada Desember 2009 di Kabupaten INHU terhadap PT. Bertuah Aneka Yasa (BAY) yang diperkirakan telah menimbulkan kerugian sebesar Rp 30 miliar akibat kebakaran yang terjadi di areal konsesinya di Kecamatan Kuala Cenaku. Kasus ini kemudian tidak jelas sampai dimana prosesnya.
Sementara itu saat konferensi pers terkait satu tahun pengelolaan lingkungan hidup Kabinet Indonesia Bersatu II, Gusti Muhammad Hatta sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) di Jakarta (22/10) mengatakan bahwa pihaknya bersama Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah dan masyarakat telah melakukan penanganan terhadap titik api itu. MenLH juga melakukan komunikasi dengan beberapa menteri lingkungan hidup negara tetangga (Singapura dan Malaysia) mengenai penanganan yang serius telah dilakukan.
“Tugas penanganan titik api seharusnya dilakukan oleh pemerintah tingkat provinsi, tapi kami tetap menurunkan tim untuk ikut menangani dan mencari penyebabnya. Sistem penanganan sudah berjalan,” kata Gusti.
Menurutnya, sementara yang menjadi sumber kabut asap yang sampai ke negeri tetangga berasal dari Bengkalis, Riau. Tim KLH akan ikut menangani titik api di luar hutan. Sedangkan tim Kemenhut menangani titik api di dalam hutan. Namun tetap ada kerjasama untuk memastikan dan menangani sumber titik api di lapangan, apakah di hutan, kebun swasta atau kebun rakyat.
Tidak membakar lahan
Dalam penanganan titik api, KLH juga melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat untuk tidak melakukan pembakaran untuk membuka lahan barunya. Selain itu melakukanwater management di lahan gambut agar bisa mengurangi kebakaran lahan.
MenLH mengatakan, munculnya titik api karena sulitnya pengawasan wilayah Indonesia yang luas dan masih maraknya pembukaan lahan pertanian secara tradisional dengan membakar lahan. Untungnya, hujan yang sering turun karena pengaruh La Nina saat ini juga sangat membantu dalam pemadaman titik api.
Pada tahun 2010 ini, KLH mengaku titik api yang memicu kebakaran hutan turun drastis sebesar 70 persen dibandingkan 2009. Jumlah 70 persen dari 15.000 titik dihitung berdasarkan data acuan 2006. Sedangkan target penurunan hotspot setiap tahun yang harus dicapai adalah 20 persen.
Pengendalian titik api terutama dilakukan di delapan provinsi rawan kebakaran yaitu Riau, Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Namun yang menjadi kewajiban KLH untuk mengendalikan titik api hanya di enam provinsi yaitu empat di Sumatra dan dua di Kalimantan. Lalu KLH menambahnya menjadi delapan provinsi karena menganggapnya rawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar