Pada hari Selasa, 3 Mei 2011 bertempat di Ruang Dekan Fak. Hukum Uneversitas Riau. Acara diskusi sehubungan dengan agenda riset dari rombongan Sekjen DPR RI terkait masalah konflik yang terjadi di Riau sebagai masukan RUU Penanganan Konflik SDA yang sedang dalam proses penyusunan. Acara tersebut di hadiri oleh 13 orang, 5 dari dosen Fakultas Hukum UR, dan 2 orang dari WALHI Riau, dan 6 orang dari rombongan Sekjen DPR RI. Acara diawali dari presentase pak mukhlis, dosen Fakultas Hukum UR kemudian di sambung oleh ibuk Hayatul Ismi. Terkait masalah konflik sosial di Riau, Hayatul ismi mengatakan karena adanya pelanggaran terhadap hak-hak ulayat adat, padahal pengakuan hak adat sudah diatur dalam pasal 18 B ayat 2 UUD 1945.
Riau masuk dalam 3 besar provinsi yang konflik SDA - nya tinggi di Sumatera, selain Sumut dan Sumsel (Catatan Komnas HAM) dan konflik ini disebabkan adanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakat yang menggantungkan hidup dari sumber ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan, perkebunan, jasa lingkungan dll) dengan penguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri skala besar seperti perkebunan kelapa sawit, kehutanan dan pertambangan, dan penguasaan oleh negara yang masih menegasikan adanya hak-hak masyarakat adat/lokal (tenurial, tradisional, ulayat), paparan dari Direktur Eksekutif WALHI Riau, Hariansyah Usman dalam presentasenya.
Dan dalam penyelesaian konflik tersebut Hayatul Ismi mengusulkan untuk dilakukan mediasi, dan usulan itu di komentari oleh rombongan DPR RI, “perusahaan lebih cenderung menyelesaikan konflik lewat pengadilan karena posisi perusahaan kuat lewat pengadilan”, dan pak mukhlis menambahkan untuk menyelesaikan konflik ini masyarakat salah satu cara dengan mediasi karena melakukan pendekatan win win solution, kalau lewat jalur hukum masyarakat selalu di kalahkan dan tentunya ini merugikan masyarakat.
Dan terkait masalah konflik, WALHI sudah melakukan pendampingan ke masyarakat terkait kasus Konflik Antara Masyarakat Kec. Bangun Purba vs PT. SSL dan Konflik Antara Masyarakat Kenegrian Pucuk Rantau vs PT. TBS , dalam laporan WALHI masyarakat di daerah yang berkonflik sudah menduduki lahan milik perusahaan di desa bangun purba, masyarakat gotong royong setiap hari kamis menebang pohon-pohon industri perusahaan dan sudah menanaminya dengan tanaman pangan bahkan sudah panen artinya secara defacto lahan sudah dikuasai oleh masyarakat.
Di akhrir presentase WALHI menyimpulkan mendesak untuk dilakukan ;
1. Kejelasan pengakuan terhadap adanya hak-hak adat/ulayat
Kejelasan status hukum hak-hak masyarakat tempatan atas hutan tanah adat/ulayat/hak turun temurun harus segera mendapat pengakuan atau tidak sama sekali dari pemerintah, sehingga tidak terjadi dualisme hukum yang berlaku di lapangan.
2. Revisi tata ruang
Tata Ruang Riau yang masih mengacu pada RTRWP tahun 1994 bisa menjadi salah satu pilar utama untuk meminimalisir konflik sumber daya alam, jika bisa secara tegas mengadopsi upaya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak adat/ulayat masyarakat tempatan di Riau.
3. Mekanisme/protokol resolusi konflik.
Untuk menjalankan protokol konflik tersebut, tentu juga harus ada lembaga yang kredibel sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Lembaga ini tidak hanya diisi oleh pemerintah tapi melibatkan
pihak luar yang independen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar