Pekanbaru, batamtoday - Penjajahan ala Hindia Belanda di perkebunan-perkebunan di wilayah Riau hingga saat ini masih berlangsung, walau Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad.
Demikian terungkap dalam peringatan 100 tahun perkebunan kelapa sawit hadir di Indonesia, yang diadakan di Pekanbaru, Riau. Acara ini dihari LSM Walhi Riau dan para aktivis serikat petani kelapa sawit (SPKS) serta para petani lainnya.
Dalam keterangan persnya, Mansuetus Darto, Kordinator Forum Nasional SPKS, mengatakan, tidak ada capaian berarti dari 100 tahun perkebunan kelapa sawit di Riau. "Hal ini dapat dilihat dari begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan 100 tahun lalu. Dulu dikuasai Belanda,sekarang berpindah ke tangan konglomerat," sebut Darto dalam rilisnya.
Transisi demokrasi di Indonesi, tandas Darto, belum mampu mentranformasikan struktur perkebunan
karena masih ditopang oleh kolonialisme.
Di saat tepat 100 abad perkebunan, sambungnya, justru kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur. Dia mencontohkan kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap, di mana petani dilarang mengelola kebun seperti model PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dan kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20 % untuk rakyat dan perusahaan 80 %. "Perkebunan sawit di Indonesia sudah mapan, dan seharusnya pemerintah sudah mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri," pinta Darto.
Karena itu, tandasnya lagi, perlu dilakukan tranformasi struktur perkebunan sebagai solusi persoalan dalam perkebunan, dengan dimulai dari evaluasi ijin usaha perkebunan dan membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun. Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman, menegaskan bahwa Provinsi Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit, dengan luas lahan lebih kurang 2,8 juta. Namun faktanya, hingga saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan.
Ekspansi kebun sawit di hutan gambut jelas sangat berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau. Pada setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api di dalam areal konsesi perusahaan kebun. "Untuk itu momentum satu abad ini penting bagi pemerintah Riau untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisinya menjadi produsen sawit terbesar," tegas Hariansyah. Riwayat Perkebunan Sawit Dalam sejarahnya, Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkat permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19.
Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008). Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumut dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.
Hariansyah Usman menambahkan konflik paling tinggi di Riau terjadi di wilayah perkebunan. Pada tahun 2010 sekitar 24 % dari total luasan kebun, terjadi konflik. Hal ini diakibatkan masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. Forum Nasional SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. Yang dapat kita simpulkan, cara penjajahan masih dipraktek di masa saat ini, tandas Hariansyah.
Hal senada disampaikan oleh petani sawit yang bermitra dengan PT Tribakti Sari Mas (TBS) di kabupaten Kuantan Singingi, Yuslim, yang juga Sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi. Dia menjelaskan, masih berlangsungnya konflik petani yang bermitra dengan PT. TBS. Bulan Juni lalu, ibu Yusniar mati ditembak polisi karena berjuang untuk memperoleh keadilan dari PT. TBS.
Lanjut dia, hingga saat ini kebun yang tidak diberikan kepada petani sekitar 1.700 Ha oleh PT TBS. Masyarakat sejak beberapa hari lalu, telah melakukan pendudukan kebun inti. Namun PT TBS belum merespon. Selain itu pula tambahnya, PT. TBS membangun kebun plasma setengah hati padahal kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik. Hal lain yang di sorot oleh Yuslim juga adalah pemakaian aparat kepolisian yang berlebihan di PT. TBS jika perusahaan tersebut bermasalah dengan petani.
Hal yang lain juga terjadi di PT MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT Torganda di Kabupaten Rokan Hulu yang mencaplok ladang-ladang masyarakat. Kedua perusahaan tersebut, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010 lalu," terang Yuslim.
(Tunggul Naibaho)
http://www.batamtoday.com/detail_berita.php?id=2651
Tidak ada komentar:
Posting Komentar